Bingung menghitung Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) setiap kali mau impor barang? Atau pernah mengalami total biaya yang tiba-tiba melonjak saat proses customs clearance? Kondisi seperti ini cukup umum terjadi, terutama ketika aturan perpajakan impor seringkali berubah dan detail perhitungannya tidak selalu mudah dipahami.
Banyak importir menghadapi masalah yang sama: struktur pungutan yang kompleks, tarif yang berbeda untuk tiap jenis pajak, serta penentuan nilai impor yang sering membuat ragu. Kesalahan sederhana seperti keliru menentukan nilai dasar pengenaan pajak, salah membaca komponen pungutan, atau tidak menyadari perlakuan berbeda antara pemilik dan non-pemilik API bisa berdampak panjang.
Karena itu, memahami PDRI ini sangat penting agar strategi impor dapat berjalan efisien dan terukur. Melalui penjelasan yang lebih runtut pada bagian berikut, artikel ini akan membantu kamu memahami dasar-dasar PDRI, komponen pajaknya, cara menghitungnya secara tepat, hingga bagaimana pungutan tersebut membentuk total landed cost barang impor.
Pengertian PDRI
Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) adalah pungutan negara yang dikenakan atas kegiatan memasukkan barang dari luar negeri ke dalam daerah pabean Indonesia. Berdasarkan ketentuan dalam PMK 190/2022, PDRI dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai bagian dari proses penyelesaian kewajiban kepabeanan atas impor barang. PDRI terdiri dari tiga jenis pajak, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor.
Berbeda dengan bea masuk yang dipungut berdasarkan klasifikasi tarif barang, PDRI dikenakan dengan mekanisme tarif ad valorem, yakni tarif dihitung berdasarkan persentase tertentu dari nilai impor. Tidak terdapat tarif spesifik dalam PDRI. Oleh karena itu, akurasi penentuan nilai impor menjadi faktor penting dalam penghitungan total pajak yang terutang.
Nilai impor sendiri ditentukan dari nilai barang dalam skema International Commercial Terms (Incoterms) dengan basis Cost, Insurance, and Freight (CIF) yang kemudian ditambah dengan besaran bea masuk. Dengan demikian, besarnya total PDRI akan sangat dipengaruhi oleh nilai pabean barang, tarif bea masuk yang berlaku, dan jenis pajak yang dikenakan.
PDRI tidak hanya berlaku untuk impor komersial, tetapi juga untuk barang kiriman yang masuk melalui penyelenggara pos atau perusahaan jasa titipan (PJT). Namun, pengenaan pajaknya tetap mempertimbangkan jenis barang, nilai barang, serta ketentuan pembebasan tertentu seperti dokumen atau surat yang tidak dikenakan pajak.
Komponen PDRI
Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor
PPN Impor merupakan pajak yang dikenakan atas masuknya Barang Kena Pajak (BKP) dari luar negeri ke Indonesia. Pengenaan ini sejalan dengan prinsip bahwa PPN bersifat konsumsi dalam negeri, sehingga setiap barang—baik hasil produksi lokal maupun impor—wajib diperlakukan secara setara.
Tarif PPN telah mengalami beberapa perubahan. Sebelum berlakunya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN atas impor adalah 10%. Sejak 1 April 2022, tarif meningkat menjadi 11%. Tarif tunggal ini diberlakukan atas nilai impor, yang dihitung dari nilai pabean ditambah bea masuk.
Sebagai bagian dari PDRI, PPN tidak mempertimbangkan kepemilikan Angka Pengenal Impor (API) maupun klasifikasi barang mewah—selama barang termasuk BKP, PPN wajib dipungut.
2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Impor
PPnBM dikenakan terhadap impor barang berwujud yang tergolong mewah. Ketentuan barang mewah berpedoman pada empat kriteria utama:
- bukan barang kebutuhan pokok,
- dikonsumsi masyarakat tertentu,
- lazim dikonsumsi oleh kelompok berpenghasilan tinggi, dan
- digunakan untuk menunjukkan status sosial.
Jenis barang yang digolongkan sebagai barang mewah diatur lebih lanjut dalam berbagai regulasi, antara lain PP 73/2019 jo. PP 74/2021 untuk kendaraan bermotor, serta PP 61/2020 dan PMK 96/2021 jo. PMK 15/2023 untuk barang mewah selain kendaraan bermotor.
Berbeda dengan PPN, tarif PPnBM bersifat bervariasi sesuai tingkat kemewahan barang, mulai dari 10% hingga 200%. PPnBM hanya dikenakan terhadap barang yang masuk dalam daftar barang mewah, sehingga tidak seluruh impor otomatis terutang PPnBM.
3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor
PPh Pasal 22 Impor adalah pungutan pajak penghasilan yang berlaku pada kegiatan impor, baik oleh perusahaan maupun perorangan. Berbeda dengan PPN atau PPnBM yang fokus pada konsumsi, PPh 22 ini berfungsi sebagai pajak yang dipungut di awal (withholding) untuk diperhitungkan kembali dalam kewajiban PPh tahunan.
Rumus perhitungannya cukup sederhana:
PPh Pasal 22 Impor = Tarif PPh 22 × (Nilai Pabean + Bea Masuk).
Agar lebih mudah dipahami, berikut contoh yang sudah disesuaikan.
Arif mengimpor satu set perlengkapan fotografi dengan harga US$1.600. Barang tersebut dikenakan pengurangan sebesar US$300 sesuai ketentuan tertentu, sehingga nilai pabeannya menjadi US$1.300.
Tarif bea masuk untuk jenis barang ini adalah 10%, sehingga bea masuknya menjadi:
10% × 1.300 = US$130
Berarti dasar pengenaan pungutan untuk PPN dan PPh 22 adalah:
Nilai Pabean + Bea Masuk = 1.300 + 130 = US$1.430
Jika digunakan kurs asumsi US$1 = Rp15.500, maka nilai konversinya adalah:
US$1.430 × 15.500 = Rp22.165.000
Setelah mendapatkan nilai rupiah, barulah dapat dihitung PPN dan PPh 22.
PPN = 11% × Rp22.165.000 = Rp2.438.150
Misalkan Arif terkena tarif PPh 22 sebesar 2,5%, maka:
PPh Pasal 22 Impor = 2,5% × Rp22.165.000 = Rp554.125
PPh ini dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bersamaan dengan penyetoran bea masuk. Setelah itu, DJBC akan melaporkan pemungutannya melalui SPT masa ke kantor pajak sesuai ketentuan.
Dasar Perhitungan Nilai Impor
Nilai impor merupakan elemen fundamental dalam perhitungan PDRI karena seluruh komponen pajak dihitung berdasarkan besaran nilai tersebut. Baik PPN, PPnBM, maupun PPh Pasal 22 Impor menggunakan nilai impor sebagai dasar pengenaan pajak (tax base), sehingga ketepatan penentuan nilai impor sangat berpengaruh terhadap akurasi total pungutan impor yang harus dibayar.
1. Nilai CIF sebagai Dasar Nilai Pabean
Dalam praktik kepabeanan, perhitungan nilai impor dimulai dari nilai pabean, yang umumnya menggunakan metode transaction value berdasarkan skema Incoterms Cost, Insurance, and Freight (CIF). Nilai CIF mencakup:
- Cost (C) → Harga barang sesuai invoice;
- Insurance (I) → Biaya asuransi atas pengiriman barang;
- Freight (F) → Biaya angkut barang sampai pelabuhan tujuan di Indonesia.
Jika kontrak dagang menggunakan Incoterms selain CIF, seperti FOB atau EXW, maka DJBC melakukan penyesuaian agar nilai pabean tetap mencerminkan nilai CIF sesuai ketentuan penilaian kepabeanan.
2. Penambahan Bea Masuk
Setelah nilai CIF dikonversi menggunakan Nilai Kurs Pajak (NDPBM) yang ditetapkan Kementerian Keuangan secara mingguan, nilai pabean kemudian ditambah dengan bea masuk untuk mendapatkan nilai impor. Rumusnya adalah:
Nilai Impor = Nilai Pabean (CIF × NDPBM) + Bea Masuk
Nilai impor inilah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak untuk PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor, sehingga komponen bea masuk secara tidak langsung meningkatkan total PDRI yang terutang.
3. Tidak Menggunakan Tarif Spesifik
PDRI menggunakan tarif ad valorem, yaitu tarif dalam bentuk persentase terhadap nilai impor. Tidak ada tarif spesifik (specific duty) dalam PDRI. Konsekuensinya, semakin tinggi nilai impor, semakin besar pula total pungutan PDRI yang harus dibayar. Oleh karena itu, ketepatan perhitungan nilai pabean dan bea masuk menjadi kunci agar tidak terjadi salah hitung.
4. Peran NDPBM dalam Perhitungan
Nilai CIF dalam mata uang asing harus dikonversi menggunakan Nilai Tukar Pajak (NDPBM). Penggunaan kurs pajak bersifat wajib dan tidak dapat diganti dengan kurs transaksi bank atau kontrak dagang. Kesalahan dalam penggunaan kurs sering menjadi penyebab ketidaksesuaian tagihan dan bisa berdampak pada koreksi DJBC.
NDPBM diterbitkan setiap minggu oleh Kementerian Keuangan, sehingga importir harus memastikan kurs yang digunakan sesuai dengan tanggal pendaftaran dokumen impor (PIB).
PDRI atas Barang Kiriman
Pengenaan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) atas barang kiriman memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan impor umum melalui mekanisme Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Barang kiriman umumnya masuk ke Indonesia melalui perusahaan jasa titipan (PJT) atau penyelenggara pos, dengan tujuan penggunaan pribadi maupun nonkomersial. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan skema penyederhanaan perhitungan pajak yang tetap menjaga kepatuhan namun memudahkan proses logistik.
Pemerintah menetapkan batas nilai tertentu untuk menentukan apakah barang kiriman dikenai pajak atau memperoleh pembebasan:
- Dokumen dan surat pribadi tidak dikenai PDRI.
- Barang dengan nilai di atas batas pembebasan dikenai Bea Masuk dan PDRI sesuai ketentuan yang berlaku.
- Untuk barang umum (non-tekstile, non-sepatu, non-tas):
- Bea Masuk menggunakan tarif flat (umumnya 7,5% sesuai ketentuan terakhir),
- PPN dan PPh Impor dihitung berdasarkan nilai CIF yang telah ditetapkan atau disesuaikan oleh petugas.
- Untuk barang dengan kategori khusus seperti tekstil, tas, atau sepatu:
- Berlaku tarif Bea Masuk yang lebih tinggi,
- PPnBM juga dapat dikenakan sesuai jenis barang.
Meskipun terdapat batas pembebasan dan tarif flat, perhitungan tetap menggunakan dasar nilai impor (CIF) yang ditentukan oleh pejabat Bea Cukai atau berdasarkan invoice yang tervalidasi.
Sebagai ilustrasi, untuk barang umum dengan nilai CIF Rp600.000:
- Bea Masuk: 7,5% × Rp600.000
- PPN: 11% × (CIF + Bea Masuk)
- PPh Impor: 10% × (CIF + Bea Masuk) jika tidak memiliki NPWP (tarif dapat berbeda tergantung ketentuan yang berlaku)
Struktur ini memudahkan penerima memahami komponen biaya sebelum barang dikirimkan ke alamat tujuan.
Contoh Perhitungan PDRI (Studi Kasus)
Contoh berikut menggunakan skenario impor komersial sederhana dengan asumsi tarif dan kondisi umum yang sering ditemui oleh pelaku usaha.
1. Studi Kasus 1: Impor Umum Menggunakan PIB
Data transaksi:
- Jenis barang: Elektronik konsumen (non-PPnBM)
- Nilai transaksi (FOB): USD 1.000
- Freight: USD 150
- Asuransi: USD 10
- Kurs pajak Kemenkeu: Rp 15.500/USD
- Tarif Bea Masuk (BM): 10%
- Tarif PPN: 11%
- Tarif PPh Pasal 22 Impor: 2,5% (importir API-U)
Langkah 1 — Menentukan Nilai Impor (CIF)
CIF = FOB + Freight + Asuransi
CIF = 1.000 + 150 + 10 = USD 1.160
Langkah 2 — Mengonversi CIF ke Rupiah
Nilai CIF dalam Rupiah = 1.160 × 15.500 = Rp17.980.000
Langkah 3 — Menghitung Bea Masuk (BM)
BM = 10% × Rp17.980.000 = Rp1.798.000
Langkah 4 — Menghitung PPN Impor
Dasar Pengenaan Pajak PPN = CIF + BM
DPP PPN = 17.980.000 + 1.798.000 = Rp19.778.000
PPN = 11% × 19.778.000 = Rp2.175.580
Langkah 5 — Menghitung PPh Pasal 22 Impor
DPP PPh = CIF + BM = Rp19.778.000
- PPh Impor = 2,5% × 19.778.000 = Rp494.450
Rekapitulasi Total Pajak Terutang
| Komponen Pajak | Nilai Terutang |
|---|---|
| Bea Masuk | Rp1.798.000 |
| PPN Impor | Rp2.175.580 |
| PPh Pasal 22 Impor | Rp494.450 |
| Total PDRI | Rp3.670.030 |
2. Studi Kasus 2: Barang Kiriman dengan Tarif Sederhana
- Barang: Aksesori elektronik (kategori umum)
- Nilai CIF: Rp600.000
- Tarif Bea Masuk Barang Kiriman: 7,5%
- Tarif PPN: 11%
- Tarif PPh Impor (tanpa NPWP): 10%
Langkah 2 — Hitung DPP PPN dan PPh
DPP = CIF + BM = 600.000 + 45.000 = Rp645.000
| Komponen Pajak | Nilai Terutang |
|---|---|
| Bea Masuk | Rp45.000 |
| PPN Impor | Rp70.950 |
| PPh Impor | Rp64.500 |
| Total PDRI | Rp180.450 |
.jpg)
0 komentar
Posting Komentar