Bea keluar merupakan pungutan negara yang dikenakan atas ekspor barang tertentu. Pengenaan pungutan ini tidak bersifat menyeluruh, melainkan selektif terhadap komoditas yang dianggap strategis atau memiliki pengaruh signifikan terhadap kepentingan nasional.
Saat ini, rujukan utama mengenai barang ekspor yang dikenai bea keluar adalah PMK Nomor 68 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2024 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Pembaruan tersebut mulai berlaku pada 15 Oktober 2025 dan mencakup revisi daftar komoditas, penyesuaian tarif, serta penambahan komoditas baru seperti getah pinus. Perubahan PMK ini juga merupakan bagian dari respons pemerintah terhadap dinamika harga internasional, perkembangan program hilirisasi, serta kebutuhan menjaga pasokan komoditas strategis di dalam negeri.
Enam Kelompok Barang Ekspor yang Dikenai Bea Keluar
Berdasarkan regulasi PMK 68/2025 tersebut, terdapat enam kelompok utama komoditas yang pengeluarannya dari wilayah Indonesia dikenakan pungutan bea keluar.
Setiap kelompok dipilih dengan pertimbangan strategis, seperti kebutuhan industri dalam negeri, potensi hilirisasi, dan keberlanjutan sumber daya. Berikut penjelasan masing-masing kelompok.
1. Kulit dan Kayu
Kelompok pertama mencakup kulit mentah dan kulit tersamak, serta berbagai jenis kayu dalam bentuk log maupun olahan primer, seperti veneer. Komoditas ini dikenai bea keluar karena berfungsi sebagai bahan baku penting bagi industri dalam negeri, mulai dari industri penyamakan kulit hingga industri pengolahan kayu.
Ketersediaan bahan baku ini sangat berkaitan dengan keberlanjutan sektor industri serta kelestarian hutan. Dengan adanya bea keluar, pemerintah berupaya mengendalikan ekspor bahan mentah yang nilainya jauh lebih rendah dibandingkan produk olahan. Selain itu, langkah ini mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya kehutanan, sehingga keseimbangan ekologi dan kebutuhan industri dapat tetap terjaga.
2. Biji Kakao
Kelompok kedua adalah biji kakao mentah, yang menjadi salah satu komoditas strategis bagi pengembangan industri pengolahan cokelat nasional. Indonesia merupakan produsen kakao, tetapi selama bertahun-tahun sebagian besar kakao diekspor dalam bentuk mentah tanpa nilai tambah.
Pengenaan bea keluar pada biji kakao berfungsi mendorong peningkatan kapasitas industri dalam negeri untuk mengolah kakao menjadi pasta, butter, atau powder. Skema tarifnya bersifat fleksibel, menyesuaikan harga referensi ekspor yang ditetapkan pemerintah. Dengan kebijakan ini, nilai tambah dapat tinggal di dalam negeri, dan daya saing industri pengolahan kakao harapannya dapat meningkat secara berkelanjutan.
3. Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya
Kelompok ketiga mencakup komoditas kelapa sawit dalam berbagai bentuk, seperti tandan buah segar (TBS), kernel, CPO, serta produk olahan seperti RBD Olein dan RBD Stearin. Kelapa sawit adalah komoditas ekspor unggulan Indonesia, sehingga pergerakannya sangat mempengaruhi pasokan minyak nabati domestik serta stabilitas harga pangan dan energi.
Bea keluar pada komoditas ini diterapkan secara progresif, mengikuti dinamika harga internasional. Mekanisme progresif tersebut memungkinkan pemerintah untuk menahan ekspor dalam situasi tertentu, misalnya ketika harga internasional melonjak sehingga dapat berdampak pada kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.
4. Produk Hasil Pengolahan Mineral Logam
Kelompok keempat adalah berbagai konsentrat mineral logam yang telah melalui tahap pengolahan namun belum dimurnikan sepenuhnya. Komoditas yang termasuk antara lain konsentrat tembaga dengan kadar tertentu, konsentrat besi laterit, serta konsentrat timbal dan seng.
Pengenaan bea keluar pada kelompok ini bertujuan untuk mendukung kebijakan nasional dalam hilirisasi sektor pertambangan. Pemerintah mendorong pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri agar ekspor dilakukan dalam bentuk produk bernilai tambah lebih tinggi. Tarif bea keluar bergantung pada kadar kemurnian mineral serta tingkat kemajuan pembangunan smelter, sehingga insentif dan disinsentif fiskal dapat bekerja secara efektif untuk mempercepat hilirisasi.
5. Produk Mineral Logam dengan Kriteria Tertentu
Kelompok kelima mencakup mineral logam yang belum diproses atau masih dalam bentuk bijih dengan karakteristik tertentu, seperti nikel dengan kadar kurang dari 1,7% Ni dan bauksit hasil pencucian (washed bauxite) dengan kadar lebih dari 42% Al₂O₃. Kedua komoditas ini memiliki nilai strategis tinggi dan menjadi komponen utama dalam industri logam, baterai, konstruksi, dan energi.
Dengan mengenakan bea keluar, pemerintah mengendalikan laju ekspor bahan mentah dan memastikan bahwa proses pengolahan dapat berlangsung di dalam negeri. Kebijakan ini sejalan dengan upaya memperkuat rantai nilai industri nasional, terutama industri logam dan baterai yang menjadi fokus pembangunan jangka panjang.
6. Getah Pinus
Kelompok terakhir adalah getah pinus, yang mulai dikenakan bea keluar sejak diterbitkannya PMK 68/2025. Komoditas ini menghasilkan produk turunan seperti gum rosin dan gum turpentine, yang memiliki nilai tinggi dalam industri kimia, farmasi, perekat, hingga tinta cetak.
Penetapan bea keluar sebesar 25% pada komoditas ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan bahan baku bagi industri turunan dalam negeri. Selain itu, langkah ini mendukung pengembangan hilirisasi berbasis hasil hutan non-kayu sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya hutan.
Ringkasan Tabel Komoditas Ekspor yang Dikenai Bea Keluar
Untuk memudahkan pemahaman mengenai komoditas apa saja yang dikenai bea keluar, berikut disajikan ringkasan dalam bentuk tabel. Tabel ini merangkum enam kelompok utama komoditas ekspor sebagaimana tercantum dalam PMK 38/2024 jo. PMK 68/2025, beserta contoh spesifik dan ketentuan tarif umumnya. Penyajian ini bertujuan memberikan gambaran atas cakupan kebijakan bea keluar yang berlaku saat ini.
Tabel ringkasan ini juga menunjukkan bahwa struktur tarif bea keluar tidak bersifat tunggal, melainkan bervariasi sesuai karakter komoditas, tingkat pengolahan, harga referensi, serta strategi hilirisasi yang tengah dijalankan pemerintah. Dengan demikian, keberadaannya dapat membantu pelaku usaha, analis kebijakan, maupun pemangku kepentingan lain dalam memahami ruang lingkup regulasi secara lebih komprehensif.
Tabel Ringkasan Komoditas Kena Bea Keluar
| Kelompok Komoditas | Contoh Spesifik | Skema/Tarif Umum |
|---|---|---|
| Kulit dan Kayu | Kulit mentah/pickled, kulit tersamak sapi/kerbau/kambing/biri-biri; kayu log; veneer | Bervariasi sesuai jenis & HS Code; skema progresif untuk kayu tertentu |
| Biji Kakao | Biji kakao mentah | 0%–7,5%, bergantung harga referensi ekspor |
| Kelapa Sawit, CPO, dan Turunan | TBS, biji sawit, kernel; CPO; RBD Olein; RBD Stearin | Tarif progresif mengikuti harga internasional & kondisi domestik |
| Produk Hasil Pengolahan Mineral Logam | Konsentrat tembaga ≥15% Cu; konsentrat besi laterit ≥50% Fe; konsentrat timbal ≥56% Pb; konsentrat seng ≥51% Zn | 5% atau 7.5%, berdasarkan kemurnian & progres pembangunan smelter |
| Produk Mineral Logam dengan Kriteria Tertentu | Nikel <1,7% Ni; washed bauxite >42% Al₂O₃ | Skema tarif khusus, umumnya progresif sesuai formulasi dalam PMK |
| Getah Pinus | Gum rosin; gum turpentine | Tarif tetap 25% |
Tabel di atas menyederhanakan ketentuan yang lebih lengkap dan detail dalam lampiran PMK, yang mencantumkan formulasi tarif spesifik. Kendati ringkas, struktur tabel ini cukup untuk memberikan gambaran awal mengenai ruang lingkup komoditas yang terkena bea keluar beserta pola penetapan tarifnya.

0 komentar
Posting Komentar