2025-12-18

Jenis Perhitungan Perpajakan yang Menggunakan Kurs Pajak pada Transaksi Impor dan Ekspor

Author -  Lubis Muzaki



Perbedaan nilai tukar antarnegara berpotensi menimbulkan variasi perhitungan pajak apabila tidak menggunakan acuan yang seragam. Oleh karena itu, diperlukan suatu standar nilai tukar resmi yang dapat digunakan secara konsisten dalam penghitungan pajak. Di Indonesia, standar tersebut dikenal sebagai Kurs Pajak atau Kurs Menteri Keuangan.

Kurs pajak berfungsi sebagai dasar konversi transaksi dalam mata uang asing ke rupiah untuk kepentingan perpajakan. Penggunaan kurs ini merupakan ketentuan yang wajib dipatuhi dalam perhitungan jenis pajak tertentu.

Dalam praktiknya, kurs pajak digunakan pada berbagai perhitungan perpajakan yang berkaitan dengan transaksi internasional, antara lain Bea Masuk atas impor, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM), serta Bea Keluar atas ekspor barang tertentu. 

Artikel ini akan membahas secara sistematis jenis-jenis perhitungan pajak yang wajib menggunakan kurs pajak, mekanisme perhitungannya, serta risiko yang dapat timbul apabila kurs yang digunakan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Pengertian dan Karakteristik Kurs Pajak


Kurs pajak, yang juga dikenal sebagai Kurs Menteri Keuangan, merupakan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah yang digunakan secara khusus sebagai dasar perhitungan kewajiban perpajakan di Indonesia. Kurs ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan diumumkan secara resmi melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) sebagai acuan yang wajib digunakan oleh Wajib Pajak dalam transaksi perpajakan tertentu yang melibatkan mata uang asing.

Penetapan kurs pajak dilakukan secara mingguan, dengan tujuan menyesuaikan nilai tukar yang digunakan dalam perhitungan pajak terhadap perkembangan kondisi pasar valuta asing. Meskipun fluktuasi nilai tukar di pasar dapat terjadi setiap saat, kurs pajak memberikan standar nilai yang bersifat tetap untuk periode tertentu, sehingga menciptakan kepastian dan konsistensi dalam penghitungan pajak.

Secara fungsi, kurs pajak digunakan untuk penentuan dasar pengenaan pajak, penghitungan pajak terutang, maupun keperluan pelaporan dalam Surat Pemberitahuan (SPT). 

Salah satu karakteristik utama kurs pajak adalah sifatnya yang mengikat. Artinya, Wajib Pajak tidak diperkenankan menggunakan kurs lain—seperti kurs bank, kurs tengah Bank Indonesia, atau kurs komersial—apabila peraturan secara tegas mensyaratkan penggunaan kurs pajak. Penggunaan kurs selain kurs pajak dalam perhitungan pajak yang diwajibkan dapat dianggap sebagai ketidaksesuaian dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Selain itu, kurs pajak memiliki karakteristik keseragaman dan netralitas. Keseragaman berarti seluruh Wajib Pajak menggunakan nilai tukar yang sama dalam periode yang sama, tanpa dipengaruhi oleh kebijakan internal perusahaan atau perbedaan kurs antarbank. Sementara itu, netralitas dimaksudkan agar perhitungan pajak tidak dipengaruhi oleh fluktuasi kurs harian yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu pihak.

Untuk mengetahui kurs pajak mingguan terkini, Anda bisa akses ke halaman Kurs Pajak Mingguan yang telah kami kembangkan dan di-update tiap minggunya.


Jenis Perhitungan Perpajakan yang Wajib Menggunakan Kurs Pajak


Secara umum, jenis perhitungan perpajakan yang wajib menggunakan kurs pajak dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori utama, yaitu:


1. Bea Masuk atas Impor Barang


Bea Masuk merupakan pungutan negara yang dikenakan atas barang yang diimpor ke dalam daerah pabean Indonesia. Pengenaan Bea Masuk dimaksudkan sebagai instrumen fiskal sekaligus pengendalian atas arus barang impor. Besaran tarif Bea Masuk ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan diatur secara rinci dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) sesuai dengan klasifikasi barang (HS Code) yang berlaku.

Dalam transaksi impor, nilai barang pada umumnya dinyatakan dalam mata uang asing sebagaimana tercantum dalam kontrak jual beli internasional atau invoice. Oleh karena itu, sebelum dilakukan penghitungan Bea Masuk, nilai transaksi tersebut harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah menggunakan kurs pajak yang berlaku pada saat impor.

Dasar pengenaan Bea Masuk adalah Nilai Dasar Pengenaan Bea Masuk (NDPBM). NDPBM mencerminkan nilai pabean barang impor yang dihitung berdasarkan metode CIF (Cost, Insurance, and Freight), yaitu terdiri atas:


  • harga barang,
  • biaya asuransi, dan
  • ongkos angkut (freight).


Seluruh komponen NDPBM yang dinyatakan dalam mata uang asing wajib dikonversi ke rupiah menggunakan kurs pajak yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Setelah NDPBM diperoleh dalam rupiah, besarnya Bea Masuk dihitung dengan rumus sebagai berikut:


Bea Masuk = Tarif Bea Masuk × NDPBM


Penggunaan kurs pajak dalam penentuan NDPBM menjadi sangat penting karena nilai ini tidak hanya digunakan untuk menghitung Bea Masuk, tetapi juga menjadi dasar pengenaan pajak lain dalam rangka impor, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor, dan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM), apabila berlaku.

Dengan demikian, kesalahan dalam penggunaan kurs pajak pada tahap penghitungan NDPBM dapat menimbulkan dampak berantai terhadap seluruh kewajiban perpajakan impor. Oleh sebab itu, ketepatan penggunaan kurs pajak merupakan aspek krusial dalam memastikan akurasi perhitungan dan kepatuhan perpajakan atas kegiatan impor barang.


2. Pajak Penghasilan (PPh) Terkait Transaksi Internasional


Jenis pajak berikutnya yang secara tegas mensyaratkan penggunaan kurs pajak adalah Pajak Penghasilan yang berkaitan dengan transaksi internasional. Hal ini mencakup, antara lain, PPh Pasal 22 atas impor serta PPh Pasal 26 atas pembayaran kepada pihak luar negeri, seperti royalti, jasa, bunga, atau dividen.

Dalam transaksi tersebut, penghasilan atau nilai pembayaran umumnya dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan besarnya pajak yang harus dipungut atau dipotong, nilai transaksi tersebut wajib dikonversi ke rupiah menggunakan kurs pajak yang berlaku pada saat terutangnya pajak.


3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM)


Kurs pajak juga wajib digunakan dalam penghitungan PPN dan PPnBM, khususnya pada transaksi impor Barang Kena Pajak serta transaksi lain yang nilai dasarnya dinyatakan dalam mata uang asing. Dalam konteks ini, kurs pajak digunakan untuk mengonversi nilai transaksi ke rupiah guna menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

Untuk PPN, meskipun tarif secara umum bersifat proporsional, ketepatan penentuan DPP menjadi faktor utama dalam memastikan kebenaran pajak terutang. Sementara itu, untuk PPnBM, penggunaan kurs pajak menjadi semakin penting karena tarif pajaknya relatif tinggi dan dikenakan atas barang-barang tertentu yang dikategorikan sebagai barang mewah.

Adapun untuk ekspor barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN sebesar 0%, penggunaan kurs pajak tetap diperlukan untuk keperluan administrasi dan pelaporan, terutama dalam kaitannya dengan pengkreditan Pajak Masukan.


4. Bea Keluar atas Ekspor Barang Tertentu


Selain impor, kurs pajak juga digunakan dalam perhitungan Bea Keluar, yaitu pungutan atas ekspor barang tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Umumnya, Bea Keluar dikenakan atas barang-barang ekspor yang berkaitan dengan sumber daya alam atau produk tertentu yang perlu dikendalikan ekspornya.

Dalam perhitungan Bea Keluar, harga ekspor yang dinyatakan dalam mata uang asing harus dikonversi ke rupiah menggunakan kurs pajak. 


Penggunaan Kurs Pajak dalam Pelaporan dan Administrasi Perpajakan


Pada SPT Masa, terutama yang berkaitan dengan PPN dan pemotongan atau pemungutan PPh, nilai transaksi dalam mata uang asing wajib dikonversi ke rupiah menggunakan kurs pajak yang berlaku pada saat terutangnya pajak. Konsistensi ini penting agar nilai pajak yang dilaporkan sesuai dengan nilai pajak yang telah disetor atau dipungut, sehingga tidak menimbulkan selisih administrasi.


Sementara itu, dalam SPT Tahunan, baik untuk Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan, seluruh penghasilan, biaya, dan transaksi yang semula dinyatakan dalam mata uang asing harus disajikan dalam rupiah. Konversi tersebut dilakukan menggunakan kurs pajak yang berlaku pada saat transaksi terjadi. Ketepatan penggunaan kurs pajak dalam SPT Tahunan berperan penting dalam menjaga akurasi perhitungan pajak terutang secara keseluruhan.


Penggunaan kurs pajak juga berkaitan erat dengan keselarasan antar dokumen administrasi. Nilai rupiah yang dilaporkan dalam SPT harus konsisten dengan nilai yang tercantum dalam dokumen pendukung, seperti invoice, dokumen kepabeanan, bukti pemotongan atau pemungutan pajak, serta pembukuan perusahaan. Ketidaksesuaian kurs yang digunakan pada dokumen-dokumen tersebut dapat menimbulkan perbedaan nilai yang berpotensi memicu klarifikasi atau koreksi oleh otoritas pajak.


Contoh Perhitungan Pajak Menggunakan Kurs Pajak


Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai penerapan kurs pajak dalam praktik, bagian ini menyajikan contoh perhitungan pajak yang umum dijumpai dalam transaksi internasional, khususnya pada kegiatan impor barang.


PT Sinar Pangan Nusantara melakukan impor mesin pengolahan susu (dairy machinery) dari Jerman untuk menunjang kegiatan produksinya di dalam negeri. Mesin tersebut diklasifikasikan dalam HS Code 8434.20.00 sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), dengan tarif Bea Masuk sebesar 5 persen. Nilai transaksi impor tercantum dalam invoice sebesar EUR 20.000, dengan tambahan biaya asuransi sebesar EUR 200 dan ongkos angkut (freight) sebesar EUR 800. Pada saat impor dilakukan, kurs pajak yang berlaku ditetapkan sebesar Rp17.000 per euro.


1. Penentuan Nilai Dasar Pengenaan Bea Masuk (NDPBM)


Dalam kegiatan impor, dasar pengenaan Bea Masuk adalah Nilai Dasar Pengenaan Bea Masuk (NDPBM) yang dihitung berdasarkan metode CIF (Cost, Insurance, and Freight). Dengan demikian, NDPBM merupakan penjumlahan antara harga barang, biaya asuransi, dan ongkos angkut.

Berdasarkan data transaksi tersebut, nilai CIF dalam mata uang asing adalah EUR 21.000, yang diperoleh dari penjumlahan harga barang sebesar EUR 20.000, asuransi EUR 200, dan freight EUR 800. Nilai CIF ini kemudian dikonversi ke dalam rupiah menggunakan kurs pajak yang berlaku, yaitu EUR 21.000 dikalikan Rp17.000, sehingga diperoleh NDPBM sebesar Rp357.000.000.


2. Perhitungan Bea Masuk


Setelah NDPBM ditentukan dalam rupiah, Bea Masuk dihitung dengan mengalikan NDPBM dengan tarif Bea Masuk sesuai BTKI. Dengan tarif sebesar 5 persen, Bea Masuk yang terutang adalah 5 persen dari Rp357.000.000, sehingga Bea Masuk yang harus dibayar oleh PT Sinar Pangan Nusantara sebesar Rp17.850.000.


3. Perhitungan PPN atas Impor


Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN atas impor ditetapkan sebagai penjumlahan antara nilai CIF dan Bea Masuk. Dalam impor barang, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN adalah:


DPP PPN = Nilai CIF + Bea Masuk


Sehingga:

  • Rp357.000.000 + Rp17.850.000
  • DPP PPN = Rp374.850.000


PPN dihitung dengan tarif 11%:


PPN Impor = 11% × DPP PPN

  • 11% × Rp374.850.000
  • PPN Impor = Rp41.233.500


4. Perhitungan PPh Pasal 22 Impor


Selain Bea Masuk dan PPN, kegiatan impor juga dikenakan PPh Pasal 22. Dalam simulasi ini diasumsikan bahwa PT Sinar Pangan Nusantara memiliki Angka Pengenal Importir (API), sehingga tarif PPh Pasal 22 Impor yang digunakan adalah 2,5 persen.

Dasar pengenaan PPh Pasal 22 Impor adalah:

Nilai Impor = Nilai CIF + Bea Masuk

  • Rp357.000.000 + Rp17.850.000
  • Nilai Impor = Rp374.850.000


PPh Pasal 22 dihitung sebagai berikut:


PPh Pasal 22 Impor = 2,5% × Nilai Impor


  • 2,5% × Rp374.850.000
  • PPh Pasal 22 Impor = Rp9.371.250


Contoh perhitungan di atas menunjukkan bahwa kurs pajak memegang peran sentral dalam seluruh rangkaian perhitungan pajak impor. Kesalahan dalam penggunaan kurs pajak pada tahap konversi nilai CIF ke rupiah tidak hanya memengaruhi besaran Bea Masuk, tetapi juga berdampak langsung pada perhitungan PPN dan PPh Pasal 22 Impor yang harus dipenuhi oleh importir.

0 komentar

Posting Komentar