Tim quality control (QC) tentunya menginginkan produk yang diawasi tidak ada yang mengalami kecacatan atau istilahnya disebut zero defects. Tapi apakah mungkin, dalam industri manufakturing dihasilkan produk tanpa cacat?
Untuk mengetahuinya, baca sampai habis ya!
Mengenal Zero Defect
Zero defect adalah konsep dalam industri yang menghendaki tidak adanya defect atau cacat produk dalam setiap proses produksi.
Tim produksi biasanya menggunakan zero defect
ini sebagai yel yel atau slogan sebelum memulai
proses produksi agar lebih semangat dan dihasilkan pekerjaan zero mistake.
Pertama kali zero defect diperkenalkan Philip B.
Crosby dalam bukunya yang berjudul “Absolutes of Quality Management”. Selanjutnya konsep zero defect
ini diadopsi menjadi salah satu teori utama dalam six sigma.
Pada
konsep manajemen kualitas yang lama, disebutkan bahwa kualitas yang baik
dapat dicapai melalui pemeriksaan atau controlling yang ketat dan melakukan inspeksi
untuk memisahkan antara barang yang layak dengan barang yang tidak
layak.
Namun, Crosby menganggap konsep tersebut memiliki banyak kelemahan.
Menurutnya, untuk mencapai hasil produksi yang sempurna tidak bisa dicapai hanya dengan
melalui pemeriksaan saja, namun harus ada upaya dalam pencegahannya.
Nah, Crosby menerapkan zero defects ini dengan mengidentifikasi risiko atau potensi terjadinya pada suatu proses produksi. Apabila potensi tersebut ditemukan, maka harus ada suatu tindakan pencegahan
untuk mencegah cacat produk sehingga kualitas produk tetap terjaga.
Kritikan terhadap konsep zero defect sebenarnya
cukup banyak dari banyak pihak yang berpendapat bahwa
kondisi perusahaan dengan cacat nol tidaklah mungkin terjadi.
Dikarenakan, sebenarnya dalam manajemen kualitas tidak harus sempurna mencapai cacat
nol dalam produksi, tetapi lebih ditekankan pada penekanan waste
(pemborosan) sehingga standar kualitas produk dapat dicapai dan produk cacat bisa berkurang.
Sejatinya untuk mencapai
zero defect secara teknis tidaklah mungkin terjadi dalam suatu proyek
manufaktur yang besar dan rumit.
Menurut standar six sigma, definisi zero defects didefinisikan sebagai 3,4 DPMO, yang artinya adalah 3,4 cacat dalam 1 (satu) juta kesempatan produksi atau masuk ke dalam kategori perusahaan kelas dunia.
*DPMO adalah Defects Per Million Opportunities atau Cacat per Satu Juta Kesempatan.
Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Mencapai Zero Defects
Sebuah industri yang menghendaki kondisi zero defects harus menerapkan pengawasan atau controlling secara ketat selama proses produksinya.
Pengawasan dilakukan sejak pemilihan bahan baku, proses pengolahan produk, hingga quality control sebelum produk siap diedarkan atau dikirimkan ke pelanggan.
Perusahaan kelas dunia yang mencapai DPMO 3,4 dipastikan sudah memiliki standar khusus terkait dengan pengendalian atau penanganan produk cacat atau rusak. Mereka mengurangi masalah mulai dari pangkal produksi yang jauh lebih efektif daripada harus memecahkan masalah pada tahapan-tahapan produksi lebih lanjut.
Berikut di bawah ini beberapa contoh tools yang dapat diterapkan dalam aktivitas produksi untuk mencapai Zero Defects, di antaranya:
1. Menerapkan lean manufacturing
Adalah proses manufakturing dengan menghendaki adanya pencegahan pemborosan.
Penerapan lean manufacturing (metode serta tools-nya) dilakukan secara terus-menerus untuk menciptakan perbaikan pada proses produksi dan inovasinya atau continuous improvement (CI) sehingga target zero defects dapat dicapai.
2. Menerapkan FMEA (Failure Mode Effect Analysis)
Adalah salah satu metode yang digunakan industri untuk mengidentifikasi dan menganalisa potensi kegagalan (failuer) yang sangat baik jika dapat diterapkan dalam pengembangan sebuah produk dan manajemen operasionalnya.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan dalam penyusunan FMEA, yaitu:
- Mengidentifikasi mode atau daftar potensi kegagalan
- Mengidentifikasi efek potensi dari kegagalan (failure)
- Mengidentifikasi penyebab potensi kegagalan (failure)
- Mengidentifikasi sistem kontrol yang bisa dilakukan untuk mengatasi penyebab potensi kegagalan tersebut
- Membuat langkah perbaikan
2. Menerapkan konsep just in time (JIT) dalam produksi
Konsep produksi Just in Time (JIT) adalah sistem produksi berdasar sistem kanban permintaan sehingga proses produksi dapat dilakukan tepat waktu, tepat jumlah, menghasilkan high quality produk dengan biaya seminimal mungkin.
Produksi JIT dapat menghemat waktu dan biaya produksi dengan cara :
- Mengurangi atau menghilangkan waktu “lead time”
- Menghilangkan pemborosan waktu “set-up” sehingga didapatkan peningkatan jumlah produksi
- Menyederhanakan tahapan proses produk di mulai dari pengendalian bahan baku hingga pengiriman barang jadi (finished goods)
3. Menerapkan Poka Yoke
Adalah suatu metode yang digunakan untuk mencegah terjadinya kesalahan akibat kecerobohan pekerja.
Penerapan Metode kerja Poka Yoke menjadi sangat penting untuk menghindari potensi kesalahan yang terjadi.
Baca Juga: Perbedaan Jidoka dan Poka Yoke
Tujuan dari penerapan metode Poka Yoke adalah untuk :
- Mencegah terjadinya kemungkinan kesalahan dalam pengoperasian
- Mencegah terjadinya kecacatan atau kerusakan dari sumbernya
- Mengurangi ketergantungan kepada Tenaga Manusia untuk melakukan deteksi
- Mencapai zero defects
Itulah ulasan mengenai apa itu zero defects. Meskipun untuk mencapainya merupakan hal yang mustahil, namun tools atau metode di atas dapat dijalankan untuk mengurangi jumlah cacat produk. Zero defects memang tidak mungkin bisa dicapai tetapi setidaknya upaya
tersebut akan mendorong terciptanya peningkatan kualitas.
0 komentar
Post a Comment