2025-10-30

Truck Lossing di Pelabuhan: Cara Importir Mempercepat Bongkar Muat Kontainer

Author -  Lubis Muzaki


Kemacetan arus barang dan lamanya waktu bongkar muat masih menjadi keluhan klasik di banyak pelabuhan Indonesia. Barang sering kali menumpuk di terminal karena proses administrasi yang panjang dan keterbatasan ruang penimbunan. Untuk menjawab tantangan tersebut, truck lossing hadir sebagai mekanisme yang memungkinkan barang dibongkar langsung dari kapal ke truk tanpa harus ditimbun di gudang atau lapangan penumpukan.

Fasilitas prosedural ini menjadi salah satu upaya untuk mempercepat proses keluar-masuk barang di pelabuhan serta menekan waktu tunggu (dwelling time). Dengan truck lossing, kegiatan bongkar muat dapat dilakukan lebih efisien karena barang tidak lagi perlu melewati tahapan penimbunan di Temporary Storage (TPS).

Secara konsep, truck lossing lahir dari kebutuhan efisiensi di tengah meningkatnya volume impor dan ekspor. Namun, penerapannya tidak sesederhana itu — dibutuhkan koordinasi erat antara pihak pelayaran, perusahaan bongkar muat, EMKL, dan Bea Cukai agar sistem ini berjalan optimal.

Artikel ini akan mengulas lebih dalam mengenai apa itu truck lossing, dasar hukumnya, mekanisme pelaksanaannya di pelabuhan, serta manfaat dan tantangan dalam implementasinya di lapangan.


Definisi dan Dasar Hukum Truck Lossing


Istilah bongkar muat kontainer dengan menggunajan truck ruck lossing sebenarnya telah lama dikenal dalam dunia kepelabuhanan dan logistik. Meski begitu, pemahaman masyarakat dan pelaku usaha terhadap konsep ini masih beragam. 

Secara resmi, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 229/PMK.04/2015 mendefinisikan truck lossing sebagai pembongkaran barang impor langsung dari sarana pengangkut yang datang dari luar daerah pabean ke sarana pengangkut darat tanpa dilakukan penimbunan.

Dalam praktiknya, truck lossing sering disebut juga sebagai ship side delivery, karena kegiatan pemindahan barang berlangsung langsung di sisi kapal. Truck lossing umumnya diberlakukan untuk barang impor dalam bentuk curah (in bulk), seperti pupuk, beras, gula, atau besi tua. Jenis barang tersebut memiliki karakteristik volume besar, bernilai relatif rendah per unit, dan memerlukan kecepatan distribusi.

Untuk memahami konteksnya lebih utuh, berikut penjelasan tiga istilah utama dalam proses bongkar muat:

  • Stevedoring → kegiatan membongkar barang dari kapal ke dermaga atau truk dengan alat bantu seperti derek kapal atau alat bongkar muat darat.
  • Cargodoring → kegiatan memindahkan barang dari dermaga ke gudang/lapangan penumpukan.
  • Receiving and Delivery → kegiatan memindahkan barang dari tempat penumpukan di gudang ke atas kendaraan penerima.

Dalam truck lossing, dua tahap terakhir — cargodoring dan receiving — dilewati sepenuhnya, sehingga waktu dan biaya bongkar muat dapat ditekan secara signifikan.

Selain diatur oleh PMK 229/PMK.04/2015, pelaksanaan truck lossing juga memiliki dasar hukum dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.21 Tahun 2007 tentang Tata Cara Kegiatan Bongkar Muat Barang dari dan ke Kapal.

Dalam pasal 8 disebutkan bahwa truck lossing dapat dilakukan untuk:

  • Bahan pokok, seperti beras, gula, atau tepung;
  • Bahan strategis, misalnya pupuk atau bahan baku industri vital;
  • Barang militer yang memerlukan pengamanan khusus;
  • Barang berbahaya atau mudah meledak, seperti bahan kimia tertentu dan bahan peledak;
  • Barang berukuran besar atau berat seperti mesin pembangkit listrik dan peralatan proyek strategis.

Ketentuan ini mencerminkan bahwa fasilitas truck lossing tidak diberikan secara umum untuk semua jenis barang, melainkan hanya untuk komoditas yang membutuhkan kecepatan penanganan atau kondisi khusus yang tidak memungkinkan penumpukan di pelabuhan.


Prinsip dan Tujuan Pemberian Fasilitas Truck Lossing


Fasilitas truck lossing sejatinya merupakan bentuk kebijakan prosedural untuk:

  • Mempercepat arus barang impor agar tidak terjadi penumpukan di pelabuhan;
  • Menekan biaya logistik nasional melalui pengurangan biaya penimbunan dan perawatan barang;
  • Meningkatkan efisiensi waktu bongkar muat (mengurangi dwelling time);
  • Mendukung kelancaran distribusi bahan pokok dan strategis yang berdampak langsung terhadap stabilitas ekonomi nasional.

Penerapan truck lossing hanya dapat dilakukan oleh importir dengan tingkat risiko rendah (jalur hijau), yang memiliki rekam jejak kepatuhan baik dalam kegiatan kepabeanan. Dengan demikian, fasilitas ini juga menjadi insentif bagi perusahaan untuk menjaga kepatuhan dan transparansi dalam kegiatan ekspor-impor.


Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Truck Lossing


Pelaksanaan truck lossing melibatkan kerja sama lintas pihak dengan peran yang saling melengkapi:


PihakPeran dan Tanggung Jawab
PelayaranMenyediakan kapal dan manifest barang, memastikan kesiapan bongkar di dermaga.
Perusahaan Bongkar Muat (PBM)Menyediakan tenaga kerja, alat bongkar (crane, hopper), serta mengatur kelancaran stevedoring.
EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut)Menyediakan armada truk, memastikan kedatangan tepat waktu, dan mengurus dokumen pengangkutan.
Consignee (Importir/Penerima Barang)Menyiapkan gudang penerima dan memastikan kelancaran distribusi barang dari pelabuhan.
Bea CukaiMelakukan pengawasan, pemeriksaan dokumen, dan memberikan izin keluar barang dari kawasan pabean.
Otoritas Pelabuhan (Pelindo/UPP)Mengatur jadwal sandar kapal, keamanan area kerja, dan memastikan keselamatan kegiatan bongkar muat.


Mekanisme dan Proses Truck Lossing di Pelabuhan


Secara umum, kegiatan truck lossing dapat dibagi ke dalam tiga tahap utama:


1. Tahap Persiapan (Pre-Operation Stage)


Proses truck lossing dimulai dari inisiatif importir untuk mengajukan atau merencanakan pengeluaran barang langsung dari kapal ke truk. Importir perlu berkoordinasi dengan EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut) yang akan menangani armada pengangkutan, serta dengan perusahaan bongkar muat (PBM) dan pelayaran untuk memastikan jadwal kedatangan kapal.


Pada tahap ini, importir juga wajib memastikan seluruh dokumen kepabeanan telah lengkap — mulai dari manifest, Bill of Lading, hingga dokumen perizinan impor. Dokumen tersebut akan diverifikasi sebelum kegiatan truck lossing dapat dilakukan.

Sementara itu, EMKL menyiapkan armada truk yang akan langsung menjemput barang di sisi kapal (ship side). Truk-truk tersebut harus memiliki izin masuk pelabuhan, kapasitas muatan yang sesuai, serta perlengkapan keselamatan kerja. Di sisi lain, PBM menyusun Rencana Kerja Bongkar Muat (RKBM) dan mengajukannya kepada otoritas pelabuhan untuk mendapatkan izin kegiatan.

Importir juga perlu memastikan bahwa gudang tujuan atau fasilitas penerima barang siap menampung muatan segera setelah keluar dari pelabuhan. Tahap persiapan ini sangat menentukan keberhasilan truck lossing — karena jika salah satu pihak terlambat, misalnya armada truk belum tiba saat kapal bersandar, kegiatan bongkar bisa tertunda dan menyebabkan tambahan biaya (idle time).


2. Tahap Pelaksanaan (Operation Stage)


Setelah seluruh dokumen dan sarana disetujui, kegiatan bongkar muat pun dimulai. Dalam tahap ini, PBM berperan mengoperasikan alat bongkar seperti crane atau grab bucket untuk memindahkan barang langsung dari kapal ke truk yang sudah disiapkan oleh EMKL.

Importir tidak terlibat langsung di lapangan, tetapi melalui EMKL dan PBM, ia memastikan bahwa proses bongkar dilakukan sesuai rencana dan jenis barang yang diangkut sesuai dengan dokumen yang telah disetujui Bea Cukai.

Selama kegiatan berlangsung, tallyman mencatat setiap muatan yang dimasukkan ke truk sebagai bukti realisasi bongkar. Petugas Bea Cukai juga berada di lokasi untuk melakukan pengawasan, memastikan tidak ada perbedaan antara barang fisik dengan dokumen kepabeanan.

Begitu truk terisi penuh, EMKL mengoordinasikan pergerakannya keluar dari area dermaga dengan pengawasan otoritas pelabuhan dan Bea Cukai di gerbang pemeriksaan. Setelah mendapat izin keluar, truk langsung menuju ke gudang tujuan importir tanpa melalui TPS.


3. Tahap Akhir (Post-Operation Stage)


Setelah seluruh kegiatan bongkar selesai, importir melalui PBM dan EMKL perlu memastikan penyelesaian administrasi kepabeanan. PBM dan pelayaran menyampaikan laporan realisasi bongkar muat (RKBM aktual) kepada otoritas pelabuhan, sementara dokumen pelengkap diserahkan kepada Bea Cukai untuk verifikasi akhir.

Importir juga disarankan melakukan evaluasi internal bersama EMKL dan PBM untuk meninjau efisiensi waktu, biaya, serta kendala yang terjadi di lapangan. Misalnya, apakah truk tiba tepat waktu, apakah alat bongkar memadai, atau apakah ada kendala koordinasi antar pihak.

Dari hasil evaluasi tersebut, importir dapat memperbaiki perencanaan pada kegiatan truck lossing berikutnya, sehingga proses pengeluaran barang di pelabuhan dapat berjalan lebih cepat, efisien, dan sesuai dengan ketentuan kepabeanan.


Keunggulan Truck Lossing


Adapun keunggulan bongkar muat kontainer dengan menggunakan truck lossing adalah sebagai berikut.

1. Menghemat Biaya Penumpukan


Keunggulan paling nyata dari penerapan truck lossing adalah penghematan biaya.
Dalam sistem bongkar muat konvensional, barang yang telah dibongkar dari kapal biasanya disimpan sementara di TPS sebelum diambil oleh pemiliknya. Proses ini menimbulkan biaya tambahan berupa:

  • Biaya penumpukan (storage fee), yang dibebankan berdasarkan lamanya barang disimpan;
  • Biaya handling internal, seperti pemindahan barang dari dermaga ke gudang;
  • Biaya administrasi dan tenaga kerja tambahan, yang muncul akibat perpanjangan waktu penyimpanan.


2. Mempercepat Arus Barang dan Menekan Dwelling Time


Selain efisiensi biaya, truck lossing juga berperan penting dalam mengurangi dwelling time, yaitu total waktu yang dibutuhkan sejak barang tiba di pelabuhan hingga keluar dari kawasan pabean.
Dengan sistem konvensional, proses penimbunan dapat memperpanjang waktu arus barang karena setiap tahap memerlukan pemeriksaan dan koordinasi tambahan.

Dalam truck lossing, alur logistik menjadi lebih singkat:

Kapal → Truk → Gudang Penerima

Tanpa proses penimbunan, barang dapat segera dikirim ke lokasi tujuan dalam hitungan jam setelah kapal bersandar.

Hal ini tidak hanya mempercepat arus distribusi, tetapi juga mengurangi kepadatan lapangan penumpukan, yang kerap menjadi penyebab kemacetan di area pelabuhan.


3. Mengurangi Risiko Kerusakan Barang


Salah satu risiko terbesar dalam proses logistik adalah kerusakan barang akibat perpindahan yang berulang. Dalam sistem bongkar muat konvensional, barang berpindah melalui beberapa tahap — dari kapal ke dermaga, kemudian ke lapangan penumpukan, dan akhirnya ke kendaraan pengangkut. Setiap perpindahan meningkatkan potensi kerusakan, terutama untuk barang curah atau barang dengan sifat fisik sensitif.

Dengan metode truck lossing, risiko ini berkurang drastis karena barang hanya berpindah sekali, langsung dari kapal ke truk. Selain itu, waktu barang terekspos di area terbuka juga lebih singkat, sehingga mengurangi risiko akibat cuaca atau penanganan yang tidak tepat.

4. Meningkatkan Efisiensi Ruang dan Produktivitas Pelabuhan


Kapasitas tempat penimbunan sementara (TPS) di pelabuhan sangat terbatas. Ketika arus barang meningkat — terutama pada musim puncak impor — area penumpukan bisa penuh dan menyebabkan penundaan bongkar kapal berikutnya.

Truck lossing membantu mengatasi hal ini dengan cara:

  • Mengurangi kebutuhan ruang penyimpanan di pelabuhan;
  • Mempercepat rotasi dermaga dan mengurangi waktu sandar kapal;
  • Meningkatkan produktivitas alat bongkar muat karena tidak perlu menunggu ruang TPS tersedia.


5. Mendukung Distribusi Barang Strategis dan Stabilitas Ekonomi


Kebijakan pemerintah melalui Permenhub No. KM.21/2007 dan PMK No. 229/PMK.04/2015 menegaskan bahwa truck lossing diperuntukkan bagi barang strategis, bahan pokok, dan barang berbahaya yang memerlukan penanganan khusus.

Dengan demikian, fasilitas ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga berperan dalam menjaga stabilitas pasokan nasional.

Barang seperti beras, gula, pupuk, bahan bakar, serta mesin pembangkit listrik membutuhkan proses distribusi yang cepat dan tidak dapat tertunda di area penimbunan. Melalui truck lossing, barang-barang tersebut dapat segera dikirim ke daerah tujuan, mendukung kelancaran rantai pasok nasional, terutama dalam situasi mendesak seperti krisis pangan atau energi.

0 komentar

Post a Comment