2025-10-06

Apa itu Impor untuk Dipakai dan Bagaimana Prosedurnya?

Author -  Lubis Muzaki



Barang dianggap sebagai barang impor ketika telah melewati batas wilayah pabean dan masuk ke dalam pengawasan otoritas kepabeanan. Dalam sistem hukum kepabeanan, setiap barang impor pada dasarnya terutang bea masuk—pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang diimpor—namun kewajiban pembayaran tersebut dapat berbeda tergantung pada tujuan pemasukan barang.

Tujuan pemasukan ini penting karena tidak semua barang yang diimpor digunakan dengan cara yang sama. Ada barang impor yang hanya digunakan sementara waktu, ada pula yang diproses kembali untuk ekspor, dan ada yang benar-benar digunakan atau dimiliki oleh pihak di dalam negeri. Berdasarkan tujuan inilah muncul istilah “Impor untuk Dipakai” — sebuah mekanisme impor yang secara khusus diatur dalam sistem kepabeanan Indonesia.

Dengan memahami konsep dan mekanisme impor untuk dipakai, para pelaku usaha dan masyarakat dapat lebih memahami kewajiban, hak, serta prosedur yang harus dipenuhi ketika membawa barang ke dalam negeri.


Apa itu Impor untuk Dipakai?


Secara konseptual, impor untuk dipakai merupakan kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk digunakan, dimiliki, atau dikuasai oleh orang atau badan yang berdomisili di Indonesia. Dengan kata lain, barang tersebut tidak hanya transit atau digunakan sementara, tetapi akan benar-benar menjadi bagian dari kegiatan ekonomi domestik—baik untuk dijual, dikonsumsi, maupun digunakan oleh pengguna akhir (end user).

Dengan demikian, kategori ini berbeda dari bentuk impor lainnya seperti:

  • Impor sementara, yaitu barang yang dimasukkan ke Indonesia hanya untuk keperluan sementara (misalnya pameran atau kegiatan penelitian) dan akan diekspor kembali.
  • Impor untuk diproses lebih lanjut, yaitu barang yang diimpor untuk diolah atau dirakit terlebih dahulu sebelum diekspor kembali.



Dasar Hukum dan Pengertian Impor untuk Dipakai

Ketentuan mengenai Impor untuk Dipakai memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.04/2022 tentang Pengeluaran Barang Impor untuk Dipakai.

3. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-02/BC/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor untuk Dipakai.

Regulasi ini menjadi panduan operasional yang menjabarkan langkah-langkah teknis pelaksanaan impor untuk dipakai, termasuk verifikasi dokumen, pemeriksaan fisik, penetapan jalur (merah/hijau), hingga penyelesaian pasca pengeluaran barang.

PER-02/BC/2023 juga mengatur mekanisme alternatif dalam kondisi tertentu, misalnya ketika sistem komputer pelayanan (SKP) mengalami gangguan operasional.


Apa Saja yang Termasuk dan Tidak Termasuk dalam Impor untuk Dipakai?


Tidak semua barang yang masuk ke Indonesia lewat jalur impor otomatis dikategorikan sebagai Impor untuk Dipakai. Secara sederhana, Impor untuk Dipakai berlaku untuk barang yang benar-benar akan digunakan, dimiliki, atau dikuasai oleh pihak yang berdomisili di Indonesia. Namun, ada beberapa jenis barang yang tidak termasuk dalam ketentuan ini karena memiliki karakteristik khusus atau pengaturan tersendiri.

Berikut beberapa contohnya:


1. Barang pindahan pribadi


Barang yang dibawa seseorang ketika pindah tempat tinggal ke Indonesia. Karena sifatnya pribadi dan bukan untuk tujuan komersial, mekanisme pengeluarannya diatur dalam ketentuan khusus di luar skema Impor untuk Dipakai.


2. Barang bawaan penumpang, awak kapal, dan pelintas batas


Barang yang dibawa oleh orang yang bepergian antarnegara. Jenis ini diatur tersendiri untuk mempermudah mobilitas, termasuk pembebasan bea masuk dalam batas nilai tertentu.


3. Barang kiriman, termasuk e-commerce


Barang yang dibeli secara daring atau dikirim melalui jasa pos dan kurir internasional. Proses kepabeanannya tidak menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB), melainkan dokumen khusus seperti formulir CN atau sistem e-billing kiriman.


4. Barang dengan pelayanan segera (rush handling)


Barang yang harus segera dikeluarkan karena mendesak — misalnya obat-obatan, alat kesehatan, atau perlengkapan penting lainnya. Barang semacam ini mendapatkan jalur cepat agar tidak tertahan lama di pelabuhan.

Baca juga: Jenis Dan Prosedur Rush Handling Barang Impor

5. Barang bantuan bencana dan barang impor tertentu


Barang yang digunakan untuk membantu penanganan bencana alam atau keadaan darurat. Pemerintah memberikan perlakuan khusus agar barang tersebut bisa langsung dimanfaatkan tanpa menunggu proses panjang.


6. Barang dengan pengaturan khusus lainnya


Beberapa jenis barang diatur secara terpisah dalam peraturan kepabeanan, seperti barang untuk pameran, penelitian, atau keperluan diplomatik.


Bagaimana Prosedur Barang Impor untuk Dipakai? Ini Langkah demi Langkahnya


Setiap barang impor yang masuk ke Indonesia tidak serta-merta bisa langsung digunakan atau dijual. Ada proses kepabeanan yang perlu dilalui agar barang tersebut secara sah dianggap sudah “masuk” ke pasar dalam negeri.

Nah, berikut empat langkah utama dalam prosedur Impor untuk Dipakai yang perlu dipahami importir sebelum barangnya benar-benar bisa dikeluarkan dari kawasan pabean.

1. Mengajukan Pemberitahuan Impor Barang (PIB)


Langkah pertama dalam proses impor adalah mengajukan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) ke kantor pabean. PIB ini ibarat “surat pengantar resmi” yang berisi data lengkap tentang barang yang diimpor — mulai dari jenis, jumlah, nilai, asal negara, hingga tujuan penggunaannya.

Importir atau kuasanya (PPJK) wajib menyampaikan PIB secara elektronik melalui Sistem Komputer Pelayanan (SKP) yang sudah terintegrasi dengan Indonesia National Single Window (INSW). Tapi, kalau sistem sedang gangguan, pengajuan tetap bisa dilakukan menggunakan media elektronik cadangan (softcopy) atau hardcopy tertulis agar proses impor tidak berhenti.

Dalam praktiknya, PIB bisa diajukan sebelum dokumen BC 1.1 (Inward Manifest) diterima — asalkan barang sudah berada di Tempat Penimbunan Sementara (TPS). Namun, pengecualian diberikan untuk importir tertentu seperti AEO (Authorized Economic Operator) dan MITA Kepabeanan, serta impor berkala atau barang curah, yang bisa diproses lebih awal.

Selain PIB, importir juga wajib menyiapkan dokumen pendukung seperti invoice, packing list, bill of lading, dan certificate of origin (CoO).

Untuk barang yang masuk jalur merah, dokumen ini harus dilampirkan paling lambat pukul 12.00 siang keesokan harinya (atau hari kerja berikutnya untuk kantor non-24 jam).

Sedangkan untuk jalur hijau, dokumen hanya perlu diserahkan bila diminta melalui Nota Permintaan Dokumen (NPD) dari pejabat pemeriksa.


2. Menunggu Penetapan Jalur dan Memenuhi Kewajiban Pabean


Setelah PIB disampaikan, sistem Bea Cukai akan otomatis menentukan jalur pemeriksaan yang harus dilalui — ini disebut penetapan jalur pengeluaran barang. Ada dua kemungkinan:

  • Jalur Merah, artinya barang harus melalui pemeriksaan fisik dan dokumen sebelum keluar dari kawasan pabean.
  • Jalur Hijau, artinya barang bisa langsung keluar tanpa pemeriksaan fisik, cukup melalui pemeriksaan dokumen administratif.

Hasil penetapan jalur ini disampaikan melalui sistem dengan dokumen Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) untuk jalur hijau, atau Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM) untuk jalur merah.


Setelah tahu jalurnya, importir wajib menyelesaikan kewajiban pabean, yaitu:

  • Membayar bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor (PDRI); dan
  • Memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan impor (misalnya izin teknis dari instansi terkait).


Pembayaran ini bisa dilakukan secara tunai, dengan jaminan, atau secara berkala untuk pihak tertentu. Fasilitas pembayaran berkala hanya diberikan kepada importir terpercaya seperti MITA Kepabeanan atau AEO, serta untuk barang tertentu seperti listrik, gas, atau cairan industri yang disalurkan lewat pipa.

Batas akhir pembayaran berkala biasanya tanggal 20 Desember setiap tahun, atau hari kerja sebelumnya bila jatuh pada hari libur nasional.


3. Pemeriksaan dan Pengeluaran Barang


Begitu semua kewajiban diselesaikan, tahap berikutnya adalah pemeriksaan dan pengeluaran barang dari kawasan pabean.

Kalau barang ditetapkan jalur merah, petugas Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan fisik dan dokumen untuk memastikan data yang disampaikan sesuai dengan barang aslinya. Pemeriksaan ini bisa dilakukan di TPS atau di lokasi importir, tergantung izin dari kantor pabean.

Jika ditemukan perbedaan antara fisik barang dan dokumen, pejabat bisa menerbitkan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) sebagai koreksi.

Sedangkan untuk jalur hijau, barang bisa langsung keluar begitu SPPB diterbitkan oleh sistem. Namun, pejabat Bea Cukai tetap bisa melakukan penelitian tambahan jika diperlukan.

Setelah disetujui, pengusaha TPS akan mengeluarkan barang dari gudang, dan sistem Bea Cukai akan mencatat proses tersebut secara otomatis melalui SKP atau sistem pintu otomatis di pelabuhan dan bandara.

Dengan begitu, seluruh arus barang bisa dipantau secara real-time dan transparan.


4. Menyelesaikan Kewajiban Pasca-Impor


Tahapan ini sering kali terlewat oleh importir pemula, padahal penting untuk memastikan administrasi impornya benar-benar tuntas.

Bagi importir yang menggunakan pembayaran berkala, misalnya MITA atau AEO, seluruh pungutan harus sudah dilunasi sebelum jatuh tempo. Jika terlambat, importir bisa dikenai denda administratif dan bahkan pencabutan fasilitas berkala selama enam bulan.

Selain itu, sistem Bea Cukai juga akan otomatis memperbarui (update) status data barang setelah SPPB diterbitkan — proses ini disebut penutupan pos manifest. Untuk barang yang bersifat digital, pengawasan dilakukan lewat audit kepabeanan, bukan pemeriksaan fisik, karena barangnya tidak berwujud dan dikirim melalui sistem elektronik.

Kalau sistem pelayanan elektronik (SKP) mengalami gangguan, seluruh proses tetap bisa dilakukan secara manual menggunakan dokumen cetak atau media penyimpanan data. Setelah sistem kembali normal, seluruh data tersebut wajib diunggah ulang ke sistem agar administrasinya lengkap dan sah.


Mekanisme Khusus dalam Impor untuk Dipakai


Tidak semua barang yang diimpor untuk dipakai ke Indonesia bisa diperlakukan sama. Beberapa barang memiliki karakter unik — misalnya gas dan listrik yang tidak bisa disimpan di gudang, atau produk digital yang bahkan tidak berwujud sama sekali. Nah, untuk mengakomodasi jenis-jenis barang seperti ini, pemerintah menyediakan mekanisme khusus dalam skema Impor untuk Dipakai tersebut.

Ada dua kelompok besar yang termasuk dalam mekanisme khusus ini, yaitu:


1. Barang Cair, Gas, dan Tenaga Listrik

Bayangkan listrik atau gas yang dialirkan langsung ke fasilitas pengguna di Indonesia. Barang-barang seperti gini tidak bisa menunggu di gudang pelabuhan seperti barang impor biasa. Karena itu, DJBC memberikan kemudahan berupa mekanisme khusus agar prosesnya tetap teratur, meskipun tidak melalui Tempat Penimbunan Sementara (TPS).

Alih-alih menggunakan dokumen standar Pemberitahuan Impor Barang (PIB), importir dapat memakai Dokumen Pelengkap Pabean (dokap) untuk mengeluarkan barang dari kawasan pabean. Tapi penggunaan dokap ini tidak bisa sembarangan — harus mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean terlebih dahulu.

Setelah barang dikeluarkan menggunakan dokap, importir wajib menyampaikan PIB berkala. Dokumen ini berfungsi sebagai laporan periodik yang mencatat volume, nilai, serta pungutan impor (bea masuk, cukai, dan pajak impor) berdasarkan jumlah barang yang benar-benar masuk. Dengan begitu, pemerintah tetap memiliki catatan akurat atas arus barang dan penerimaan negara dari sektor tersebut.

Pembayaran bea masuk dan pajak juga bisa dilakukan secara berkala, bukan sekaligus. Namun, fasilitas ini hanya berlaku bagi importir dengan reputasi baik — yaitu MITA Kepabeanan atau AEO (Authorized Economic Operator) — serta bagi barang-barang seperti listrik, gas, dan cairan industri yang dialirkan lewat pipa.

2. Barang Digital


Kemajuan teknologi menciptakan bentuk perdagangan baru: produk digital. Kini, barang tak selalu berwujud fisik — bisa berupa software, aplikasi, musik, film, data elektronik, hingga layanan berbasis cloud. Meski tak terlihat, transaksi ini tetap dianggap sebagai impor, karena barang digital tersebut digunakan dan dimiliki oleh pihak di Indonesia.

Menurut PMK 190/PMK.04/2022, produk digital termasuk dalam kategori barang tidak berwujud (intangible goods), dan tetap wajib dilaporkan melalui mekanisme kepabeanan. Bedanya, pemeriksaan dan administrasinya dilakukan sepenuhnya secara elektronik.

Importir wajib menyampaikan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) digital paling lambat 30 hari kalender sejak tanggal pembayaran transaksi. Laporannya disampaikan melalui CEISA 4.0, sistem kepabeanan online yang terhubung langsung dengan DJBC.

Karena tidak ada fisik barang yang bisa diperiksa, pengawasan dilakukan melalui audit kepabeanan digital. DJBC akan meneliti dokumen transaksi, bukti pembayaran, serta rekam jejak elektronik untuk memastikan nilai transaksi dan pungutan pajaknya benar.

Kalau ditemukan keterlambatan pelaporan atau ketidaksesuaian nilai, importir bisa dikenai sanksi administratif. Dalam kasus tertentu, keterlambatan penyampaian PIB digital bahkan bisa membuat pelayanan berikutnya ditunda sementara, sampai kewajiban dilunasi.

Dari seluruh pembahasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa Impor untuk Dipakai bukan sekadar kegiatan membawa barang dari luar negeri ke Indonesia, melainkan sebuah proses administratif dan fiskal yang kompleks. Prosedur ini memastikan bahwa setiap barang yang masuk ke wilayah pabean benar-benar tercatat, diawasi, dan diperlakukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.

0 komentar

Post a Comment