Barang dianggap sebagai barang impor ketika telah melewati batas wilayah pabean dan masuk ke dalam pengawasan otoritas kepabeanan. Dalam sistem hukum kepabeanan, setiap barang impor pada dasarnya terutang bea masuk—pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang diimpor—namun kewajiban pembayaran tersebut dapat berbeda tergantung pada tujuan pemasukan barang.
Tujuan pemasukan ini penting karena tidak semua barang yang diimpor digunakan dengan cara yang sama. Ada barang impor yang hanya digunakan sementara waktu, ada pula yang diproses kembali untuk ekspor, dan ada yang benar-benar digunakan atau dimiliki oleh pihak di dalam negeri. Berdasarkan tujuan inilah muncul istilah “Impor untuk Dipakai” — sebuah mekanisme impor yang secara khusus diatur dalam sistem kepabeanan Indonesia.
Dengan memahami konsep dan mekanisme impor untuk dipakai, para pelaku usaha dan masyarakat dapat lebih memahami kewajiban, hak, serta prosedur yang harus dipenuhi ketika membawa barang ke dalam negeri.
Apa itu Impor untuk Dipakai?
Secara konseptual, impor untuk dipakai merupakan kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk digunakan, dimiliki, atau dikuasai oleh orang atau badan yang berdomisili di Indonesia. Dengan kata lain, barang tersebut tidak hanya transit atau digunakan sementara, tetapi akan benar-benar menjadi bagian dari kegiatan ekonomi domestik—baik untuk dijual, dikonsumsi, maupun digunakan oleh pengguna akhir (end user).
Dengan demikian, kategori ini berbeda dari bentuk impor lainnya seperti:
- Impor sementara, yaitu barang yang dimasukkan ke Indonesia hanya untuk keperluan sementara (misalnya pameran atau kegiatan penelitian) dan akan diekspor kembali.
- Impor untuk diproses lebih lanjut, yaitu barang yang diimpor untuk diolah atau dirakit terlebih dahulu sebelum diekspor kembali.
Dasar Hukum dan Pengertian Impor untuk Dipakai
Ketentuan mengenai Impor untuk Dipakai memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.PER-02/BC/2023 juga mengatur mekanisme alternatif dalam kondisi tertentu, misalnya ketika sistem komputer pelayanan (SKP) mengalami gangguan operasional.
Apa Saja yang Termasuk dan Tidak Termasuk dalam Impor untuk Dipakai?
Tidak semua barang yang masuk ke Indonesia lewat jalur impor otomatis dikategorikan sebagai Impor untuk Dipakai. Secara sederhana, Impor untuk Dipakai berlaku untuk barang yang benar-benar akan digunakan, dimiliki, atau dikuasai oleh pihak yang berdomisili di Indonesia. Namun, ada beberapa jenis barang yang tidak termasuk dalam ketentuan ini karena memiliki karakteristik khusus atau pengaturan tersendiri.
Berikut beberapa contohnya:
1. Barang pindahan pribadi
Barang yang dibawa seseorang ketika pindah tempat tinggal ke Indonesia. Karena sifatnya pribadi dan bukan untuk tujuan komersial, mekanisme pengeluarannya diatur dalam ketentuan khusus di luar skema Impor untuk Dipakai.
2. Barang bawaan penumpang, awak kapal, dan pelintas batas
Barang yang dibawa oleh orang yang bepergian antarnegara. Jenis ini diatur tersendiri untuk mempermudah mobilitas, termasuk pembebasan bea masuk dalam batas nilai tertentu.
3. Barang kiriman, termasuk e-commerce
Barang yang dibeli secara daring atau dikirim melalui jasa pos dan kurir internasional. Proses kepabeanannya tidak menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB), melainkan dokumen khusus seperti formulir CN atau sistem e-billing kiriman.
4. Barang dengan pelayanan segera (rush handling)
Barang yang harus segera dikeluarkan karena mendesak — misalnya obat-obatan, alat kesehatan, atau perlengkapan penting lainnya. Barang semacam ini mendapatkan jalur cepat agar tidak tertahan lama di pelabuhan.
Baca juga: Jenis Dan Prosedur Rush Handling Barang Impor
5. Barang bantuan bencana dan barang impor tertentu
Barang yang digunakan untuk membantu penanganan bencana alam atau keadaan darurat. Pemerintah memberikan perlakuan khusus agar barang tersebut bisa langsung dimanfaatkan tanpa menunggu proses panjang.
6. Barang dengan pengaturan khusus lainnya
Beberapa jenis barang diatur secara terpisah dalam peraturan kepabeanan, seperti barang untuk pameran, penelitian, atau keperluan diplomatik.
Bagaimana Prosedur Barang Impor untuk Dipakai? Ini Langkah demi Langkahnya
Setiap barang impor yang masuk ke Indonesia tidak serta-merta bisa langsung digunakan atau dijual. Ada proses kepabeanan yang perlu dilalui agar barang tersebut secara sah dianggap sudah “masuk” ke pasar dalam negeri.
Nah, berikut empat langkah utama dalam prosedur Impor untuk Dipakai yang perlu dipahami importir sebelum barangnya benar-benar bisa dikeluarkan dari kawasan pabean.
1. Mengajukan Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
Langkah pertama dalam proses impor adalah mengajukan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) ke kantor pabean. PIB ini ibarat “surat pengantar resmi” yang berisi data lengkap tentang barang yang diimpor — mulai dari jenis, jumlah, nilai, asal negara, hingga tujuan penggunaannya.
Importir atau kuasanya (PPJK) wajib menyampaikan PIB secara elektronik melalui Sistem Komputer Pelayanan (SKP) yang sudah terintegrasi dengan Indonesia National Single Window (INSW). Tapi, kalau sistem sedang gangguan, pengajuan tetap bisa dilakukan menggunakan media elektronik cadangan (softcopy) atau hardcopy tertulis agar proses impor tidak berhenti.
Dalam praktiknya, PIB bisa diajukan sebelum dokumen BC 1.1 (Inward Manifest) diterima — asalkan barang sudah berada di Tempat Penimbunan Sementara (TPS). Namun, pengecualian diberikan untuk importir tertentu seperti AEO (Authorized Economic Operator) dan MITA Kepabeanan, serta impor berkala atau barang curah, yang bisa diproses lebih awal.
Selain PIB, importir juga wajib menyiapkan dokumen pendukung seperti invoice, packing list, bill of lading, dan certificate of origin (CoO).
Untuk barang yang masuk jalur merah, dokumen ini harus dilampirkan paling lambat pukul 12.00 siang keesokan harinya (atau hari kerja berikutnya untuk kantor non-24 jam).
Sedangkan untuk jalur hijau, dokumen hanya perlu diserahkan bila diminta melalui Nota Permintaan Dokumen (NPD) dari pejabat pemeriksa.
2. Menunggu Penetapan Jalur dan Memenuhi Kewajiban Pabean
Setelah PIB disampaikan, sistem Bea Cukai akan otomatis menentukan jalur pemeriksaan yang harus dilalui — ini disebut penetapan jalur pengeluaran barang. Ada dua kemungkinan:
- Jalur Merah, artinya barang harus melalui pemeriksaan fisik dan dokumen sebelum keluar dari kawasan pabean.
- Jalur Hijau, artinya barang bisa langsung keluar tanpa pemeriksaan fisik, cukup melalui pemeriksaan dokumen administratif.
Hasil penetapan jalur ini disampaikan melalui sistem dengan dokumen Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) untuk jalur hijau, atau Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM) untuk jalur merah.
Setelah tahu jalurnya, importir wajib menyelesaikan kewajiban pabean, yaitu:
- Membayar bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor (PDRI); dan
- Memenuhi ketentuan larangan atau pembatasan impor (misalnya izin teknis dari instansi terkait).
Pembayaran ini bisa dilakukan secara tunai, dengan jaminan, atau secara berkala untuk pihak tertentu. Fasilitas pembayaran berkala hanya diberikan kepada importir terpercaya seperti MITA Kepabeanan atau AEO, serta untuk barang tertentu seperti listrik, gas, atau cairan industri yang disalurkan lewat pipa.
Batas akhir pembayaran berkala biasanya tanggal 20 Desember setiap tahun, atau hari kerja sebelumnya bila jatuh pada hari libur nasional.
3. Pemeriksaan dan Pengeluaran Barang
Begitu semua kewajiban diselesaikan, tahap berikutnya adalah pemeriksaan dan pengeluaran barang dari kawasan pabean.
Kalau barang ditetapkan jalur merah, petugas Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan fisik dan dokumen untuk memastikan data yang disampaikan sesuai dengan barang aslinya. Pemeriksaan ini bisa dilakukan di TPS atau di lokasi importir, tergantung izin dari kantor pabean.
Jika ditemukan perbedaan antara fisik barang dan dokumen, pejabat bisa menerbitkan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) sebagai koreksi.
Sedangkan untuk jalur hijau, barang bisa langsung keluar begitu SPPB diterbitkan oleh sistem. Namun, pejabat Bea Cukai tetap bisa melakukan penelitian tambahan jika diperlukan.
Setelah disetujui, pengusaha TPS akan mengeluarkan barang dari gudang, dan sistem Bea Cukai akan mencatat proses tersebut secara otomatis melalui SKP atau sistem pintu otomatis di pelabuhan dan bandara.
Dengan begitu, seluruh arus barang bisa dipantau secara real-time dan transparan.
4. Menyelesaikan Kewajiban Pasca-Impor
Tahapan ini sering kali terlewat oleh importir pemula, padahal penting untuk memastikan administrasi impornya benar-benar tuntas.
Bagi importir yang menggunakan pembayaran berkala, misalnya MITA atau AEO, seluruh pungutan harus sudah dilunasi sebelum jatuh tempo. Jika terlambat, importir bisa dikenai denda administratif dan bahkan pencabutan fasilitas berkala selama enam bulan.
Selain itu, sistem Bea Cukai juga akan otomatis memperbarui (update) status data barang setelah SPPB diterbitkan — proses ini disebut penutupan pos manifest. Untuk barang yang bersifat digital, pengawasan dilakukan lewat audit kepabeanan, bukan pemeriksaan fisik, karena barangnya tidak berwujud dan dikirim melalui sistem elektronik.
Kalau sistem pelayanan elektronik (SKP) mengalami gangguan, seluruh proses tetap bisa dilakukan secara manual menggunakan dokumen cetak atau media penyimpanan data. Setelah sistem kembali normal, seluruh data tersebut wajib diunggah ulang ke sistem agar administrasinya lengkap dan sah.
0 komentar
Post a Comment