![]() |
Image source: vt Tiktok - nichojov |
Bagaimana jika tubuh manusia hidup tanpa jaringan saraf tepi? Otak tidak akan mampu menerima informasi sensorik. Tubuh akan kehilangan kepekaan sepenuhnya. Akibatnya, ia tidak tahu kapan kaki terluka, tidak sadar saat tangan menyentuh air panas, bahkan tidak mampu merasakan lingkungan. Tanpa saraf tepi, otak hanya bergerak dalam asumsi, bukan pada realita yang dialami tubuh. Begitu pula dengan Indonesia. Dalam negara Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI ibarat sistem saraf tepi. Tanpanya, pemerintah pusat mungkin tetap bisa menjalankan roda pemerintahan, tetapi dengan risiko mengabaikan segala "luka" dan "nyeri" di daerah. Lalu, muncul sebuah pertanyaan: dapatkah Indonesia benar-benar utuh jika saraf tepinya sudah mati rasa?
Kadang saya membayangkan, bagaimana jadinya kalau DPD RI sudah ada sejak awal Orde Baru, dan benar-benar diberi kekuatan yang substansial. Mungkin saja sejarah kita—terutama tentang Timor Leste—akan berjalan sedikit berbeda. Seandainya DPD sudah ada dan kuat, suara dari Timor Timur bisa didengar lebih dini di tingkat nasional. Aspirasi yang terwakili mungkin tidak langsung menyelesaikan semua masalah, tapi setidaknya membuka ruang kompromi. Timor Timur punya ruang untuk mengelola dirinya sendiri. Barangkali dengan itu, mereka merasa lebih dihargai sebagai bagian dari keluarga besar Indonesia. Dan siapa tahu, jalan sejarahnya tidak mengarah pada perpisahan.
Namun, sejarah memilih jalan lain. DPD RI baru lahir setelah Reformasi 1998, ketika bangsa ini tersadar bahwa sentralisasi yang terlalu kuat hanya melahirkan jarak dan luka antara pusat dan daerah. Otonomi daerah pun kemudian digulirkan, dan DPD didesain sebagai “saraf tepi” republik: penghubung agar pusat tidak lagi abai terhadap denyut kehidupan di daerah.
Lebih dari dua dekade setelah Reformasi itu, kita seperti diingatkan kembali melalui gelombang protes rakyat yang merebak di berbagai daerah sepanjang Agustus-September 2025 ini. Menurut Direktur Pelaksana Paramadina Public Policy Institute, Ahmad Khoirul Umam, akar masalahnya bermula dari pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD), yang membuat banyak pemerintah daerah harus memutar otak mencari sumber pemasukan baru.
Sayangnya, alih-alih berinovasi memanfaatkan ruang otonominya untuk mengembangkan sumber fiskal yang lebih berkelanjutan, beberapa daerah memilih jalan pintas dengan menaikkan pajak. Di Kabupaten Pati, misalnya, kebijakan ini langsung memicu demonstrasi besar-besaran dari warga. Gelombang protes tersebut kemudian makin meluas karena bertemu dengan kekecewaan publik terhadap kebijakan pusat, terutama keputusan DPR yang justru menaikkan tunjangan anggota dewan di tengah pemangkasan anggaran untuk masyarakat (daerah). Sebuah ironi, sebab semangat efisiensi anggaran itu lebih dulu menghantam masyarakat di bawah.
Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah tidak boleh diabaikan. Jauh sebelum gejolak ini, DPD RI sudah memberikan sejumlah pertimbangan lewat Keputusan Nomor 61/DPD RI/V/2023-2024 tentang pentingnya memperkuat skema transfer ke daerah seperti DAU dan DBH, mendukung UMKM agar ekonomi kelas bawah lebih tahan banting, hingga mengevaluasi program-program yang nyatanya tak kunjung menurunkan ketimpangan (Rasio Gini) yang stagnan bertahun-tahun.
Demo yang terjadi akhir-akhir ini mengingatkan kita bahwa ada akar persoalan besar yang perlu dicermati. Sebab faktanya, 90,3% daerah di Indonesia—atau 493 dari 546 daerah—masih bergantung pada transfer pusat dengan kategori kapasitas fiskal lemah. Hanya 26 daerah (4,76%) yang Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya lebih besar dari dana transfer, sementara mayoritas masih lemah sehingga sulit berinovasi dan mandiri secara fiskal. Akar persoalan ini bukan semata soal kapasitas daerah, melainkan juga karena aturan yang berlaku di atasnya sering kali kurang berpihak atau bahkan menghambat ruang gerak daerah. Karena itu, sebaiknya DPD mendorong agar hubungan pusat dan daerah ditata ulang secara lebih seimbang. Salah satu langkah mendesak adalah meninjau kembali kerangka besar otonomi daerah melalui revisi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga arah desentralisasi lebih sesuai dengan kapasitas dan kesiapan tiap daerah.
Selama ini, aturan otonomi daerah kita ibarat “satu baju dipakai semua orang.” Besar kecil daerah, kuat lemah ekonominya, maju mundurnya birokrasi—semuanya diberi tanggung jawab yang sama. Hasilnya, ada daerah yang mampu berlari, tapi ada juga yang tersandung karena bebannya terlalu berat. Inilah kondisi yang kerap disebut sebagai desentralisasi simetris.
Secara konstitusional (Pasal 18B Ayat 1 UUD 1945) Indonesia sebenarnya sudah mengenal desentralisasi asimetris, terlihat dari adanya otonomi khusus maupun istimewa. Hanya saja, belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai desentralisasi asimetris, sehingga tampak seolah-olah sistem kita masih seragam. Karena itu, diperlukan penegasan dan grand design desentralisasi asimetris, agar setiap daerah mendapat porsi kewenangan sesuai kapasitasnya.
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) mengingatkan bahwa aturan sekarang sering membingungkan daerah karena tumpang tindih kewenangan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Salah satu persoalan nyata terlihat dalam pengelolaan aset daerah. Ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang—apakah provinsi atau kabupaten/kota— dapat membatasi ruang gerak dan inovasi daerah. Padahal, dengan aturan yang jelas, konsisten, dan berpihak, aset daerah justru bisa menjadi instrumen penting untuk memperkuat kemandirian fiskal.
Contoh lain dapat dilihat pada pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). BUMD perlu diarahkan pada penciptaan tata kelola korporasi modern, dengan pemisahan tegas antara penugasan layanan publik dan aktivitas bisnis komersial. Untuk fungsi sosial atau public service obligation (PSO), pemerintah wajib memberikan kompensasi yang transparan agar tidak terjadi subsidi silang yang justru membebani kinerja BUMD. Dengan model tata kelola yang lebih sehat, BUMD berpotensi menjadi motor penting bagi kemandirian fiskal daerah.
Komite I DPD RI dapat mendorong agar revisi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah benar-benar memasukkan mekanisme pendelegasian kewenangan yang disesuaikan dengan kapasitas fiskal, birokrasi, dan kematangan masyarakat di tiap daerah. Bentuknya bisa macam-macam. Misalnya, menurut Prof. Eko Prasojo, mantan Wakil Menteri PANRB, daerah dapat dikategorikan menjadi tiga: otonomi penuh (tinggi), otonomi sebagian (sedang), dan otonomi terbatas (rendah) agar lebih berkeadilan. Tidak kalah penting, DPD juga dapat berperan dalam penyusunan indikator kesiapan otonomi serta ikut mengevaluasi secara periodik tingkat kemandirian daerah, sebagaimana mandat pengawasan ranperda dan perda dalam Pasal 249 ayat (1) huruf j UU MD3. Dari basis pengawasan inilah, DPD mendorong pengembangan model uji coba otonomi asimetris di sejumlah daerah untuk melihat efektivitasnya sebelum diterapkan secara lebih luas, sehingga desain desentralisasi benar-benar lahir dari kebutuhan riil di bawah.
Sebagai saraf tepi bangsa, DPD RI secara konsisten mengambil peran reflektif dengan mengirimkan sinyal-sinyal korektif ke pusat. Langkah ini tidak hanya tampak dalam dorongan revisi UU Pemerintahan Daerah, tetapi juga melalui pengajuan tiga RUU dalam Prolegnas—RUU Daerah Kepulauan, RUU Pelindungan Masyarakat Adat, dan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim.
Namun, perjuangan DPD tentu tidak berhenti pada ranah regulasi semata. Lebih dari itu, tantangan terbesarnya adalah memastikan suara daerah benar-benar menjadi bagian dari denyut kebijakan nasional. Untuk itu, DPD RI juga berupaya mendekatkan diri dengan masyarakat melalui pembangunan kantor di setiap provinsi serta menghadirkan “duta DPD” yang fokus pada isu-isu daerah seperti lingkungan atau UMKM. Inisiatif-inisiatif ini pada dasarnya adalah ikhtiar agar aspirasi dari bawah tidak hanya terdengar, tetapi juga tersampaikan dengan lebih terarah dan berdampak.
Bagaimanapun juga, yang namanya tumbuh itu selalu dari bawah. Maka, bila daerah diberi ruang untuk berinovasi dan didampingi dengan kebijakan yang berpihak, tidak akan ada lagi luka di ujung negeri yang menghalangi pertumbuhan itu. Jika boleh meminjam ungkapan Ibu Sri Mulyani, “Jangan lelah mencintai Indonesia,” maka semangat itu juga perlu kita terjemahkan sebagai ajakan untuk “Jangan lelah mencintai daerah” bersama DPD. Inilah wujud dari proses check and balance: menjaga agar suara dari daerah tetap terhubung dengan kebijakan di pusat. Dari kekuatan yang lahir di bawah, Indonesia akan tetap utuh, berakar kokoh, sekaligus mampu menatap masa depan dengan percaya diri.
Daftar Pustaka:
Atikah, P. (2025). Marak demo di daerah juga berakar dari pemusatan anggaran: masyarakat perlu mengawal. The Conversation. Diakses 20 September 2025, dari https://theconversation.com/marak-demo-di-daerah-juga-berakar-dari-pemusatan-anggaran-masyarakat-perlu-mengawal-263621
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. (2024). Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 61/DPD RI/V/2023-2024 tentang Pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah RI terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD RI.
Hikam, H. A. A. 493 daerah di Indonesia masih tergantung duit pusat. DetikFinance. Diakses pada 19 September 2025, dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-7891922/493-daerah-di-indonesia-masih-tergantung-duit-pusat
Humas. (2025, 4 Maret). APKASI bahas revisi UU Pemda dengan Komite I DPD RI: upaya memperkuat otonomi daerah. Diakses pada 19 September 2025, dari https://apkasi.org/nasional/apkasi-bahas-revisi-uu-pemda-dengan-komite-i-dpd-ri-upaya-memperkuat-otonomi-daerah
Prasojo, E. (2025). Decentralization in Indonesia revisited: 25 years on. FIA Universitas Indonesia. Diakses pada 19 September 2025, dari https://fia.ui.ac.id/en/decentralization-in-indonesia-revisited-25-years-on/
Qonita. Ada perlindungan adat hingga iklim, 4 RUU DPD RI masuk Prolegnas. Diakses pada 19 September 2025, dari https://news.detik.com/berita/d-8106012/ada-perlindungan-adat-hingga-iklim-4-ruu-dpd-ri-masuk-prolegnas
The Guardian. (2025, 2 September). Indonesia protests explained: why did they start and how has the government responded? Diakses pada 19 September 2025, dari https://www.theguardian.com/world/2025/sep/02/indonesia-protests-explained-start-how-has-the-government-responded
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undang Nomor 13 tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (UU MD3)
Wibawa, K. C. S. (2019, Agustus). Penegasan politik hukum desentralisasi asimetris dalam rangka menata hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di Indonesia. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Yudi, A. L., dkk. (n.d.). Efisiensi anggaran disebut picu daerah naikkan PBB, apa kata Mendagri dan Istana? Tempo.co. Diakses pada 19 September 2025, dari https://www.tempo.co/politik/efisiensi-anggaran-disebut-picu-daerah-naikkan-pbb-apa-kata-mendagri-dan-istana--2060379
0 komentar
Post a Comment