2025-10-10

Sabuk Riparian dalam Skema Peremajaan Sawit Rakyat (PSR): Jalan Tengah Menuju Sawit Lestari

Author -  Lubis Muzaki

IG @idealisticalith


Pagi itu, di sebuah desa kecil di Kalimantan Tengah, seorang anak lelaki tengah membantu ayahnya memanen tandan buah segar kelapa sawit. Tangannya kotor oleh lumpur, sesekali ia mengeluh karena duri pelepah menusuk kulitnya. Sambil menggerutu kecil, ia berkata, “Ayah, capek sekali….”

Sang ayah hanya tersenyum, mengelap keringat di dahinya. Dengan sabar ia menaruh tandan sawit di gerobak, lalu menjawab, “Bentar lagi istirahat ya, Nak. Kebun inilah yang membuatmu bisa sekolah, kebun inilah yang kita andalkan untuk masa depanmu.”

Anak itu terdiam sejenak. Senyumnya perlahan mengembang ketika mendengar sang ayah melanjutkan, “Kalau hasil panen bulan ini bagus, uangnya bisa untuk biaya kuliahmu semester depan.”

Kebun sawit yang digarap keluarga itu hanya seluas satu hektare—luasan yang umum dimiliki banyak petani sawit rakyat di Indonesia. Dengan lahan rata-rata satu sampai dua hektare, hasil panen yang diperoleh pun relatif terbatas. Pendapatan biasanya cukup untuk kebutuhan dasar keluarga, tetapi tidak selalu mampu mengimbangi biaya produksi yang terus meningkat, seperti pupuk, tenaga kerja, dan perawatan kebun.

Kisah seperti ini bukan hanya milik satu keluarga. Di berbagai daerah, jutaan rumah tangga petani sawit rakyat hidup dalam situasi serupa. Data Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2023 menunjukkan bahwa 42,29% kebun sawit nasional dikelola oleh perkebunan rakyat (PR) atau smallholder, dengan luas total sekitar 6,74 juta hektare. Kebun-kebun ini dikelola secara mandiri, sering tanpa modal, bibit unggul, atau pendampingan teknis. Akibatnya, banyak tanaman tetap tua, produktivitas rendah, dan ketahanan petani mudah goyah terhadap fluktuasi pasar.

Mendorong perbaikan, BPDP meluncurkan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Dengan dana bantuan hingga Rp 60 juta per hektare, PSR mendukung replanting dengan bibit unggul dan pendampingan teknis. Hingga akhir 2024, PSR telah merealisasikan replanting seluas 38.244 hektare dengan total dana tersalur sebesar Rp 1,295 triliun. Secara total sejak bergulir, BPDP telah mencakup ±364.552 ha dan 160.000 pekebun, dengan serapan sarana-prasarana hingga 100% dan pengembangan SDM yang melampaui target.

Walau begitu, mereka juga menghadapi tantangan lainnya, yaitu masalah ekologis. Sungai dan kanal di sekitar kebun kerap tercemar oleh sedimen, pupuk, dan pestisida. Erosi tanah membuat air keruh dengan total padatan tersuspensi (TSS) yang melampaui baku mutu. Limbah pupuk memicu eutrofikasi, menurunkan kualitas ekosistem perairan, dan mengganggu habitat akuatik. Di sinilah peluang muncul untuk memperluas konsep PSR, yaitu dengan memasukkan ide Sabuk Riparian (riparian buffer) sebagai solusi keberlanjutan.

Penerapan sabuk riparian dilakukan dengan cara menyisakan jalur hijau di sepanjang tepian sungai. Pedoman internasional, seperti yang dikeluarkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), merekomendasikan lebar buffer minimal 15–30 meter di kedua sisi sungai. Zona ini terbukti efektif menjaga kualitas air, menahan erosi, serta mendukung keanekaragaman hayati di dalam lanskap sawit.

Bagi petani yang kebunnya bersentuhan langsung dengan sungai atau kanal, penerapan sabuk riparian dapat menjadi langkah nyata untuk melindungi badan air sekaligus menghadirkan manfaat ekologis. Sementara itu, bagi petani yang lahannya tidak berada di bantaran sungai, manfaat PSR tetap besar. Mereka tetap memperoleh bibit unggul dan pendampingan teknis yang dapat meningkatkan produktivitas, menjaga keberlanjutan kebun, dan mengurangi tekanan terhadap pembukaan hutan baru.

Dalam praktiknya, lebar sabuk riparian bisa bervariasi. Pada ukuran 30 meter, sabuk biasanya dirancang secara berlapis agar fungsi ekologisnya maksimal. Bagian inti yang dekat dengan sungai ditanami vegetasi berakar kuat seperti bambu atau pohon rawa untuk memperkuat tebing. Lapisan tengah ditumbuhi pohon naungan dan semak berbunga yang menghadirkan penyerbuk alami dan menambah keragaman hayati. Sementara lapisan luar ditanami tanaman penutup tanah, misalnya legum, untuk menyerap kelebihan nutrien dari limpasan pupuk. Pada jalur yang lebih sempit, misalnya 15 meter, desainnya biasanya disederhanakan menjadi dua lapisan saja: inti selebar lima meter dengan vegetasi berakar kuat, dan sisanya berupa pohon naungan serta semak berbunga untuk menjaga habitat.

Beberapa penelitian telah menunjukkan berbagai manfaat ekologis sabuk riparian. Contohnya, filter strips riparian dapat mengurangi beban sedimen hingga 60–90%. Selain itu, vegetasi riparian memperkuat struktur tanah, mengurangi erosi, dan menjaga stabilitas sistem perairan, sambil menyediakan koridor bagi flora dan fauna. Dengan demikian, buffer ini tidak hanya memperbaiki kualitas air, tetapi juga mendukung keanekaragaman hayati dan kesehatan ekosistem secara menyeluruh.

Manfaat tersebut sebenarnya tidak berhenti pada aspek ekologi saja, melainkan juga menyentuh kebutuhan praktis petani. Kanal yang lebih bersih membuat kebutuhan pengerukan berkurang hingga 30%, sementara kehadiran predator alami seperti burung hantu membantu menekan populasi hama tikus sehingga biaya pestisida bisa ditekan. Tanaman buffer seperti bambu, buah lokal, atau rotan bahkan dapat menjadi sumber pendapatan tambahan. 

Namun, di lapangan sebagian petani kecil masih melihat buffer sebagai “lahan hilang” karena tidak ditanami sawit. Pandangan ini wajar, mengingat mereka lebih sering dihadapkan pada kebutuhan jangka pendek dibandingkan manfaat ekologis jangka panjang. Oleh karena itu, keberhasilan penerapan sabuk riparian sangat bergantung pada adanya jembatan kebijakan: insentif hijau berupa kredit berbunga rendah atau premi harga sawit berkelanjutan, diversifikasi hasil buffer dengan komoditas bernilai ekonomi, serta program edukasi dan monitoring partisipatif.

Di sinilah peluang inovasi muncul. Penerapan sabuk riparian dapat diperkuat dengan teknologi pemetaan digital, misalnya menggunakan GIS atau drone monitoring untuk mengidentifikasi lahan sepanjang sungai yang strategis untuk dipulihkan. Selain itu, praktik ini bisa dipadukan dengan kearifan lokal seperti masyarakat tradisional sudah terbiasa menanam pohon tertentu di tepian sungai sebagai penyangga banjir atau sumber kayu bakar. Tradisi itu dapat dihidupkan kembali dan disinergikan dengan PSR, sehingga program modern tetap berakar pada kearifan lokal. Tidak kalah penting, sabuk riparian juga berpotensi memberi nilai ekonomi baru, seperti akses pasar kredit karbon atau produk ramah lingkungan dari tanaman buffer (misalnya bambu, madu hutan, atau rotan) yang bisa masuk rantai pasok industri kreatif.

Momentum Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sebetulnya memberi peluang besar untuk mewujudkan hal ini. PSR bukan hanya soal mengganti kebun tua dengan bibit unggul yang lebih produktif, tetapi juga bisa menjadi pintu masuk untuk menata ulang tata kelola perkebunan rakyat. Jika replanting disertai penerapan sabuk riparian, maka produktivitas petani dapat meningkat sekaligus ekosistem tetap terjaga.

Bayangkan sungai yang kembali jernih, ikan kecil yang berenang di alirannya, burung yang kembali berkicau di tepian, dan di saat yang sama kebun sawit rakyat tetap produktif serta memberi penghidupan layak. Itulah jalan tengah menuju sawit lestari—sebuah harmoni antara kesejahteraan petani dan kelestarian alam—yang dapat diwujudkan melalui upaya kolektif mengintegrasikan sabuk riparian ke dalam skema Peremajaan Sawit Rakyat.


Daftar Pustaka:

1. Badan Pusat Statistik. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2023. Nomor Publikasi: 05100.24024. Tanggal Rilis: 29 November 2024.

2. BPDP. Peran BPDP dalam Mendukung Petani Kelapa Sawit Rakyat. Diakses 3 September 2025 dari: https://www.bpdp.or.id/peran-bpdp-dalam-mendukung-petani-kelapa-sawit-rakyat

3. RSPO (2017). RSPO Manual on Best Management Practices (BMPs) for the Management and Rehabilitation of Riparian Reserves. RSPO-GUI-T03-003 V1.0 ENG. Endorsed by the RSPO Biodiversity and High Conservation Values Working Group, 4 April 2017. Tersedia di: ResearchGate.

4. WeConservePA. The Science Behind the Need for Riparian Buffer Protection. Diakses 31 Agustus 2025 dari https://library.weconservepa.org/guides/131-the-science-behind-the-need-for-riparian-buffer-protection.

5. Graziano, M. P., et al. (2022). Riparian Buffers as a Critical Landscape Feature: Insights for Riverscape Conservation and Policy Renovations. Diversity, 14(3), 172. Diakses 3 September 2025 dari https://www.mdpi.com/1424-2818/14/3/172.

0 komentar

Post a Comment