HPS adalah perkiraan harga barang/jasa yang ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Yang namanya harga perkiraan, HPS tidak bisa digunakan sebagai dasar perhitungan kerugian negara.
Namun tentunya dalam penyusunan harga perkiraan tersebut harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, dikalkulasikan secara keahlian dan
berdasarkan data yang bisa dipertanggung-jawabkan.
Mengapa harus berdasarkan data harga yang bisa dipertanggunjawabkan? Karena penetepan harga satuan dalam HPS oleh PPK adalah tahapan perencanaan pengadaan yang krusial.
Mengapa harus berdasarkan data harga yang bisa dipertanggunjawabkan? Karena penetepan harga satuan dalam HPS oleh PPK adalah tahapan perencanaan pengadaan yang krusial.
Apabila HPS ditetapkan lebih mahal dari harga wajar, hal tersebut akan menimbulkan potensi kerugian negara yang mana bisa saja menyeret PPK mendekam di balik jeruji besi.
Namun, apabila ditetapkan lebih rendah atau sama dengan harga wajar, potensi terjadinya lelang gagal menjadi lebih tinggi karena tidak ada penyedia yang berminat. Tentunya dengan adanya gagal lelang, maka akan terjadi tender proyek yang molor dari Rencana Umum Pengadaan (RUP).
Setiap pengadaan barang/jasa harus dibuatkan HPS kecuali pengadaan yang menggunakan bukti perikatan berupa bukti pembayaran yang mana Bendahara Pengeluaran dapat membayar tagihan setelah PPK menerbitkan Surat Perintah Bayar.
Setiap pengadaan barang/jasa harus dibuatkan HPS kecuali pengadaan yang menggunakan bukti perikatan berupa bukti pembayaran yang mana Bendahara Pengeluaran dapat membayar tagihan setelah PPK menerbitkan Surat Perintah Bayar.
Pengadaan Langsung yang dulunya bisa dilaksanakan tanpa HPS, sekarang dengan terbitnya Perpres PBJ terbaru harus menggunakan HPS kecuali untuk pengadaan dengan nilai sampai dengan Rp. 10.0000.000,00.
Sedangkan, HPS digunakan
untuk pengadaan dengan tanda bukti perjanjian berupa kuitansi, SPK, dan
surat perjanjian.
Penyusunan HPS memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut:
HPS disusun dengan cara menghitung data-data yang bisa dipertanggungjawabkan. Data yang dipakai untuk menyusun HPS meliputi:
Karena mempertimbangkan keakuratan data terkait dengan spesifikasi dan harga, maka penyusunan HPS harus memperhatikan jangka waktu penggunaan HPS dengan ketentuan sebagai berikut ini.
Mengapa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menetapkan harga satuan di dalam HPS diatas harga pasar?
Manfaat Penyusunan HPS
Penyusunan HPS memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut:
- HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya.
- HPS digunakan untuk pengadaan dengan bukti tanda perjanjian berupa kuitansi, SPK dan surat perjanjian
- HPS digunakan sebagai dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk pengadaan.
- HPS digunakan sebagai dasar untuk negosiasi harga dalam Pengadaan Langsung dan Penunjukan Langsung.
- HPS digunakan untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Penawaran (1-3% dari HPS). Contoh: nilai HPS suatu tender proyek pekerjaan misalkan sebesar Rp. 2.000.000.000,-, (dua milyar rupiah). Panitia pengadaan, menetapkan besaran jaminan penawaran adalah 2% dari HPS. Hal ini berarti rekanan harus menyampaikan jaminan penawaran senilai Rp. 40.000.000,- (berapapun harga penawaran yang disampaikan untuk pekerjaan tersebut).
- HPS digunakan sebagai dasar untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Pelaksanaan bagi penawaran yang nilainya lebih rendah dari 80% nilai total HPS. Contoh : nilai HPS suatu tender proyek pekerjaan misalkan sebesar Rp. 10.000.000.000,-. Penyedia barang/jasa menyampaikan penawaran harga (setelah terkoreksi) sebesar Rp. 7.000.000.000,- atau 70% dari HPS. Maka, jumlah jaminan pelaksanaan sebesar = 5% x HPS= 5% x Rp. 10.000.000.000,- = Rp. 500.000.000,-.
Data Penyusun HPS
HPS disusun dengan cara menghitung data-data yang bisa dipertanggungjawabkan. Data yang dipakai untuk menyusun HPS meliputi:
- Harga pasar setempat yang merupakan harga barang di lokasi barang diproduksi/diserahkan/dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya pengadaan barang.
- Data/informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
- Data/informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Informasi daftar biaya/tarif barang yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal.
- Informasi biaya kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya.
- PPK mempertimbangkan inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan, dan/atau kurs tengah Bank Indonesia.
- Hasil perbandingan dengan kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain.
- Norma indeks.
- Data atau informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
Karena mempertimbangkan keakuratan data terkait dengan spesifikasi dan harga, maka penyusunan HPS harus memperhatikan jangka waktu penggunaan HPS dengan ketentuan sebagai berikut ini.
- Penyusunan HPS paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran untuk pemilihan dengan pascakualifikasi; atau
- Penyusunan HPS paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran ditambah dengan waktu lamanya prakualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi.
- HPS adalah perkiraan dan patokan semata;
- HPS telah memperhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- HPS memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar bagi Penyedia;
- HPS tidak boleh memperhitungkan biaya tak terduga, biaya lain-lain dan Pajak Penghasilan (PPh) Penyedia;
- nilai total HPS terbuka dan tidak rahasia;
- riwayat HPS harus didokumentasikan secara baik;
- HPS tidak dapat digunakan sebagai dasar perhitungan kerugian negara;
- Tim Ahli dapat memberikan masukan dalam penyusunan HPS.
Penetapan HPS harus di atas harga pasar = Mark up?
Mengapa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menetapkan harga satuan di dalam HPS diatas harga pasar?
HPS telah memperhitungkan keuntungan dan biaya tidak langsung (overhead cost). Hal ini untuk memastikan kewajaran harga satuan. Kewajaran yang dimaksud ini tanpa dibatasi nilai tertentu sehingga bagi PPK tentu secara aturan tidak salah jika menambah nilai keuntungan dengan prosentase atau nominal tertentu.
Jika semata-mata untuk menambah nilai keuntungan bagi penyedia tentu ini alasan yang tidak tepat, tetapi harusnya penambahan nilai keuntungan lebih ditekankan untuk menambah minat penyedia barang/jasa untuk ikut serta dalam berkompetisi tender proyek pengadaan barang/jasa.
Misalnya berdasarkan daftar harga yang terdapat pada ecommerce online blibli.com, harga printer yang tertera untuk satu spesifikasi tertentu seharga Rp.800.000,-. Berdasarkan harga tersebut, apabila PPK yang bertugas pada satuan kerja berlokasi di jakarta, akan menyusun HPS untuk pengadaan 100 unit printer, berapa nilai HPS yang akan ditetapkan?
Rumus untuk menyusun HPS adalah:
Jika PPK menetapkan nilai keuntungan yang wajar adalah sebesar 5% dari harga yang dipublikasikan, berdasarkan contoh kasus diatas maka total HPS adalah sebagai berikut.
Harga satuan = 800.000 + (5%x800.000)
Harga satuan = 800.000 + 40.000
Harga satuan = 840.000,-
HPS sebelum PPN = 840.000 x 100 unit
HPS = 84.000.000
Dalam komponen HPS terdapat nilai uang sebesar Rp.40.000,- x 100 = 4.000.000,- sebagai nilai keuntungan disediakan untuk calon penyedia barang/jasa. Darimana cara kita memandang nilai kewajaran, margin 5% atau total nilai tambahan keuntungan Rp.4.000.000,-.
Dalam batasan ini apakah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bersalah dalam menetapkah HPS? Penetapan HPS tersebut tidak salah, karena PPK juga harus mempertimbangkan minat dari calon penyedia barang/jasa untuk mengikuti proses pelelangan. Tentu dengan asumsi bahwa dalam proses pelelangan tidak terjadi adanya KKN antara para penyedia barang/jasa. Dengan kata lain terjadi persaingan yang sehat dan sempurna antar calon penyedia barang/jasa dalam mengajukan penawaran.
Apabila harga ditetapkan terlalu rendah sehingga calon penyedia barang/jasa tidak berminat akan berdampak pada gagalnya tender proyek. Tentu hal ini berdampak pada bertambahnya alokasi waktu untuk PBJ.
Jika semata-mata untuk menambah nilai keuntungan bagi penyedia tentu ini alasan yang tidak tepat, tetapi harusnya penambahan nilai keuntungan lebih ditekankan untuk menambah minat penyedia barang/jasa untuk ikut serta dalam berkompetisi tender proyek pengadaan barang/jasa.
Misalnya berdasarkan daftar harga yang terdapat pada ecommerce online blibli.com, harga printer yang tertera untuk satu spesifikasi tertentu seharga Rp.800.000,-. Berdasarkan harga tersebut, apabila PPK yang bertugas pada satuan kerja berlokasi di jakarta, akan menyusun HPS untuk pengadaan 100 unit printer, berapa nilai HPS yang akan ditetapkan?
Rumus untuk menyusun HPS adalah:
- Harga satuan = analisa harga + keuntungan wajar
- HPS sblm PPN = Harga satuan x volume
- HPS = HPS sblm PPN + (HPS sblm PPN x 10%)
Jika PPK menetapkan nilai keuntungan yang wajar adalah sebesar 5% dari harga yang dipublikasikan, berdasarkan contoh kasus diatas maka total HPS adalah sebagai berikut.
Harga satuan = 800.000 + (5%x800.000)
Harga satuan = 800.000 + 40.000
Harga satuan = 840.000,-
HPS sebelum PPN = 840.000 x 100 unit
HPS = 84.000.000
Dalam komponen HPS terdapat nilai uang sebesar Rp.40.000,- x 100 = 4.000.000,- sebagai nilai keuntungan disediakan untuk calon penyedia barang/jasa. Darimana cara kita memandang nilai kewajaran, margin 5% atau total nilai tambahan keuntungan Rp.4.000.000,-.
Dalam batasan ini apakah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bersalah dalam menetapkah HPS? Penetapan HPS tersebut tidak salah, karena PPK juga harus mempertimbangkan minat dari calon penyedia barang/jasa untuk mengikuti proses pelelangan. Tentu dengan asumsi bahwa dalam proses pelelangan tidak terjadi adanya KKN antara para penyedia barang/jasa. Dengan kata lain terjadi persaingan yang sehat dan sempurna antar calon penyedia barang/jasa dalam mengajukan penawaran.
Apabila harga ditetapkan terlalu rendah sehingga calon penyedia barang/jasa tidak berminat akan berdampak pada gagalnya tender proyek. Tentu hal ini berdampak pada bertambahnya alokasi waktu untuk PBJ.
Salam Pengadaan.Saya Saehumillah Pelaksana KPU Kabupaten Serang-Banten
ReplyDeleteHarga yang dirancang dalam RKA dan ditetapkan dalam DPA (untuk APBD) adalah harga pada bulan agustus - oktober tahun berjalan.. ini yang disebut dengan harga saat perencanaan pengadaan (bukan HPS).. yang jadi masalah saat pelaksanaan pada tahun depan, harga selalu berubah naik.. akhirnya volume barang selalu dikurangi karena pagu tidak dapat dirubah (jadinya tidak sesuai perencanaan).. bagaimana solusinya ? apakah perlu memprediksi kenaikan harga saat penyusunan RKA ? sekali lagi HPS bukan harga yang dipakai saat melakukan perencanaan pengadaan melainkan harga pada saat akan dilaksanakan proses pemilihan.
ReplyDelete