2025-05-02

Perpres No 46 Tahun 2025 Resmi Dirilis! Ini 7 Perubahan Krusial yang Harus Kamu Tahu (Lengkap dengan Matriks)

Author -  Lubis Muzaki

Di tengah dinamika pembangunan nasional dan tuntutan efisiensi belanja negara, pemerintah kembali melakukan langkah strategis dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025. Regulasi ini merupakan perubahan kedua atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP), yang selama ini menjadi acuan utama dalam pengelolaan pengadaan di instansi pemerintah.

Perpres terbaru ini membawa sejumlah penyesuaian dan terobosan besar, mulai dari penguatan sertifikasi kompetensi PPK, kewajiban digitalisasi proses, alokasi anggaran untuk UMKM, hingga fleksibilitas jenis kontrak. Tak ketinggalan, pendekatan supply by owner dan kontrak berbasis kinerja menjadi inovasi yang bisa mengubah pola kerja pengadaan di banyak sektor.

Artikel ini hadir untuk mempermudah pemahaman atas perubahan tersebut dengan menyajikan matriks ringkasan yang sistematis dan aplikatif.




Matriks Perubahan Utama Perpres No. 46 Tahun 2025


Aspek

Pasal

Ketentuan Lama (Sebelum Perpres 46/2025)

Perubahan Baru dalam Perpres 46/2025

Catatan Penting

1. Ruang Lingkup & Definisi

Pasal 1

Tidak mencakup "institusi lainnya"; Pemerintah Desa tidak eksplisit disebut.

Tambahan definisi “institusi lainnya”; Pemerintah Desa resmi masuk dalam ruang lingkup PBJ.

Memperluas jangkauan regulasi ke entitas pengguna APBN/APBD non-pemerintah pusat.

Pasal 2

Tidak menyebut APB Desa dan hibah dalam negeri.

Sumber pembiayaan PBJ diperluas: termasuk APB Desa dan dana pinjaman/hibah dalam negeri.

Meningkatkan legitimasi penggunaan dana tersebut untuk pengadaan.

2. Sertifikasi PPK & Tata Kelola

Pasal 7

Sertifikasi belum secara eksplisit berbasis tipologi pekerjaan.

PPK wajib memiliki sertifikasi sesuai tipologi pekerjaan.

Dorongan profesionalisme berbasis risiko dan jenis pengadaan.

Pertentangan kepentingan tidak dirinci.

Diperjelas kriteria konflik kepentingan, mengacu pada prinsip antikorupsi.

Pencegahan penyalahgunaan wewenang.

Pasal 10–11

KPA tidak secara eksplisit diberi ruang fleksibel metode kontrak.

KPA dapat menyesuaikan metode kontrak; KPA dapat merangkap PPK jika memahami PBJ.

Lebih fleksibel, tapi perlu pengawasan.

3. Metode Pengadaan & Kontrak

Pasal 20

Belum ada kewajiban kuota belanja UMKM.

Wajib mengalokasikan 40% anggaran untuk produk UMKM/koperasi.

Kebijakan afirmatif untuk pelaku usaha kecil.

Tidak ada konsep supply by owner.

Diperkenalkan supply by owner melalui kontrak payung.

Cocok untuk proyek strategis, kurangi risiko keterlambatan.

Pasal 27

Jenis kontrak terbatas.

Penambahan: kontrak berbasis kinerja, kontrak turnkey.

Mendorong efisiensi dan hasil berorientasi output.

Pasal 28

Batas SP konstruksi Rp200 juta.

Naik jadi Rp400 juta.

Relaksasi bagi pengadaan bernilai kecil.

4. Afirmasi UMKM & Koperasi

Pasal 20 Ayat 3

Fokus pada TKDN dan produk lokal.

Ditekankan pada produk UMKM/koperasi; tidak harus ber-TKDN.

Mempermudah akses UMKM non-manufaktur.

Pasal 29

Skema uang muka tidak spesifik UMKM.

Minimal 50% uang muka untuk kontrak UMKM < Rp200 juta.

Afirmasi kas kecil untuk pelaku usaha mikro.

5. Digitalisasi & Inovasi

Pasal 50

e-Purchasing bersifat pilihan.

Wajib e-purchasing jika tersedia, kecuali ada alasan rasional.

Mempercepat digitalisasi dan transparansi.

Pasal 54

Batas penambahan nilai kontrak tidak jelas.

Diperbolehkan >10% untuk kondisi darurat.

Responsif terhadap bencana dan force majeure.

6. Penunjukan Langsung & Situasi Darurat

Pasal 38

Kriteria penunjukan langsung terbatas.

Diperluas: termasuk program prioritas & repeat order.

Perlu pengawasan agar tidak disalahgunakan.

Pasal 59

Bantuan kemanusiaan terbatas dalam negeri.

Mencakup bantuan dalam dan luar negeri.

Memungkinkan bantuan lintas batas saat bencana.

7. Produk Dalam Negeri & Lingkungan

Pasal 19 & 46A

Fokus pada TKDN & belum eksplisit produk hijau.

Prioritas produk bersertifikasi SNI dan “produk ramah lingkungan”.

Memperkuat agenda keberlanjutan dan kualitas.


Poin Kritis & Catatan Implementasi

Meskipun Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 membawa semangat reformasi pengadaan barang/jasa pemerintah melalui digitalisasi, pemberdayaan UMKM, dan fleksibilitas kontrak, terdapat sejumlah poin krusial yang perlu diperhatikan untuk menjamin efektivitas implementasinya. 

Tanpa mitigasi risiko dan kesiapan kelembagaan, kebijakan ini berisiko tidak mencapai tujuan strategisnya.

1. Sertifikasi PPK: Risiko Kesenjangan Kapasitas SDM

Kewajiban PPK untuk memiliki sertifikat kompetensi sesuai tipologi pekerjaan memang mendorong profesionalisasi. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan adanya keterbatasan sumber daya manusia yang benar-benar siap secara administratif dan teknis, terutama di daerah atau instansi kecil.

📌 Catatan Implementasi:
Diperlukan sosialisasi masif dan pelatihan berjenjang, termasuk skema percepatan sertifikasi berbasis kebutuhan mendesak dan penugasan transisi.

2. Alokasi 40% untuk UMKM: Celah “Calo Bendera” & Efektivitas Penyerapan

Kewajiban alokasi anggaran minimal 40% untuk produk UMKM dan koperasi adalah langkah afirmatif yang progresif. Namun, terdapat kekhawatiran praktik manipulatif seperti penggunaan "bendera pinjam" oleh perusahaan besar untuk mengakali aturan demi memenangkan pengadaan.

📌 Catatan Implementasi:
Perlu sistem verifikasi pelaku UMKM yang lebih ketat, audit rutin, dan kolaborasi dengan Kemenkop UKM serta LKPP untuk pendataan berbasis NIB dan segmentasi pasar.

3. e-Purchasing: Kesiapan Infrastruktur & Adaptasi UMKM

Pengadaan melalui katalog elektronik kini menjadi kewajiban dengan pengecualian terbatas. Tantangannya: tidak semua UMKM memiliki kapasitas digital untuk memasarkan produknya di e-katalog, serta keterbatasan dalam aspek logistik, spesifikasi teknis, dan manajemen stok.

📌 Catatan Implementasi:
Diperlukan masa transisi maksimal 1 tahun disertai pendampingan teknis UMKM oleh dinas terkait serta dukungan LKPP dalam hal simplifikasi proses onboarding ke e-katalog.


4. Kontrak Berbasis Kinerja & Turnkey: Tantangan Pengawasan

Penambahan jenis kontrak berbasis kinerja dan kontrak putar kunci (turnkey) membuka peluang pengadaan yang lebih efisien dan terukur. Namun, tanpa pedoman teknis dan alat ukur yang jelas, kontrak jenis ini berpotensi menimbulkan celah penghindaran kewajiban dan kesulitan akuntabilitas.

📌 Catatan Implementasi:
Pemerintah perlu segera menerbitkan pedoman teknis (juknis) terkait pelaksanaan kontrak berbasis output, termasuk instrumen evaluasi kinerja yang objektif.


5. Kelonggaran Penambahan Nilai Kontrak & Penunjukan Langsung: Potensi Abuse of Discretion

Perubahan yang memperbolehkan penambahan nilai kontrak lebih dari 10% dalam kondisi darurat dan perluasan kriteria penunjukan langsung memerlukan kewaspadaan tinggi. Tanpa kontrol internal yang kuat, kebijakan ini rawan disalahgunakan untuk mem-bypass prosedur kompetitif.

📌 Catatan Implementasi:
Perlu mekanisme pengawasan real-time oleh APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) dan integrasi data pelaksanaan kontrak dengan sistem SPSE.

6. Sinkronisasi Antarlembaga & Regulasi Turunan

Banyak klausul dalam Perpres 46/2025 yang memerlukan peraturan turunan, seperti Perlem LKPP, juknis, dan SOP sektoral. Ketidaksiapan regulasi teknis bisa memperlambat implementasi atau menimbulkan interpretasi berbeda di lapangan.

📌 Catatan Implementasi:
Diperlukan timeline sinkronisasi regulasi turunan dan forum koordinasi antarkementerian/lembaga, dengan melibatkan asosiasi penyedia dan pelaku UMKM sebagai stakeholders.

0 komentar

Post a Comment